Wira

Nazarulloh R
Chapter #14

14. Cinta Gula-Gula Kapas

Tepat berada di sisi lain dari tempat orang-orang penuh kesibukan yang dinamakan kota, terdapat sebuah hiburan malam yang sedang tersaji, sebuah hiburan malam yang selalu ada di setiap sabtu malam. Mereka sudah siap sedari sore memanjakan para pengunjung hingga malam menjelang. Terdapat hiburan, makanan, dan menjajahkan tawa-tawa bahagia di sana.

Wira menghentikan laju motornya, sejurus kemudian menurunkan standar yang berada di sebelah kiri. Kini, mereka sudah sampai di sebuah lahan kosong yang berisi barisan motor. Terdapat raut muka heran tercipta. Lia heran apa yang Wira lakukan di sini, bukankah ia mengajaknya hanya untuk pulang bersama.

“Kita, mau ngapain?” tukas Lia heran.

“Mampir dulu disini ya, sebentar ajah..”

“Tapikan...” Wira mengacungkan jari telunjuknya yang ia arahkan ke bibirnya, lantas melirik kesamping.

“Ssshht.. udah jangan bawel bentar ajah kok, ayo turun.” percakapan mereka di atas motor yang akhirnya selesai seusai Lia mengaminkan permintaan Wira, walaupun dalam hatinya ia takut pulang lebih gelap dari biasanya.

Dari kerumanan orang yang lalu lalang, ternyata sore hari sudah membuat pasar malam dibuat padat merayap. Kerumunan orang-orang yang sedang menikmati waktu sorenya dengan berjalan-jalan santai, atau orang-orang yang akan menikmati malam minggu lebih awal. Dan mereka dua di antara keruman tesebut.

Menikmati langit yang berpulas jingga, semilir angin sore, dan seseorang yang spesial itu sebuah kebahagian yang tiada tara bagi Wira. Meski jalan mereka masih berjarak tidak seperti truk gandengan. Tapi ini sudah dari cukup. Langkah mereka teratur menyusuri jalan kota yang di sulap menjadi wisata malam jikalau malam minggu tiba.

“Lia, maafin ya soal pagi, kayanya sikap aku terlalu dingin.”

“Aku sudah tahu kamu pasti mau bahas itu.” Wira tertawa malu, Lia menimpal ucapannya “Gak apa-apa kok Ra, aku juga lagi males ngomong waktu pagi.” Lia menambahkan.

Hufft.. Wira menghembuskan napas lega.

“Tapi, ngomong-ngomong kenapa tadi kamu telat?” tanya Wira memastikan.

Sebuah gelagat tercipta, Lia seperti sedang bingung mencari kosa kata dalam otaknya, mencari alasan yang ia ingin tutupi. Hingga pertanyaan itu menjadi basi, Lia enggan untuk menjawab.

Wira mengulagi pertanyaannya “Tadi kenapa kamu telat, kan tumben bangat seorang Alinea yang terkenal rajin bisa telat?”

Masih engga untuk bersuara, Lia memilih menjahit mulutnya rapat-rapat. Apa yang harus disembunyikan dari pertanyaan sesedarhana ini? Lia mengelak pertanyaan Wira dengan melihat di sekelilinya, banyak pedagang yang menjual aneka makanan yang membuat matanya kagum. Hingga ia menimpanya.

“Ihhh.. itu ada gula-gula kapas.”

 Mata Lia berninar melihat sebuah lapak yang menjual sebuah gula-gula kapas berwarna merah muda yang bergelantungan. Sebuah gula-gula kapas yang siap meleleh di lidah hingga menari-nari.

Melihat reaksi Lia yang berdecak kagum membuat Wira tersenyum aneh “Kaya anak-anak.” Wira mengolok.

“Biarin anak-anak itukan manis, kan aku juga manis, wlee” Lia menjulurkan Lidah ke hadapan Wira tanda mengejek balik.

Sial, Wira tidak bisa membalas balik apa yang Lia katakan. Jika boleh jujur Lia memang benar, ia manis seperti gula-gula kapas itu.

Wira membeli sebuah gula-gula kapas dan diberikannya kepada Lia, terlihat ia sangat senang dan langsung merebutnya dari Wira. “Terimakasih” Wira mengkerutkan dahinya tanda heran.

Di pertengahan jalan yang dijadikan hiburan malam terdapat sebuah taman yang berada di sisi kanan jalan. Mereka menghampiri sebuah bangku panjang yang hanya cukup di isi untuk dua orang lalu mereka duduki.

Merasa tidak nyaman dengan sepatu Lia membukanya.

“Lohh, kok di buka sepatunya, Lia?”

“Gak tau nih, kaya kurang nyaman, lebih enak di buka kayanya.”

“Pake lagi, nanti kotor.”

Lia mengkerutkan dahinya “Apanya? Kakinya?”

“Bukan!”

Lia mulai keheranan. “Terus?”

“Itu, nanti surga untuk anak-anak kita jadi kotor.”

“Ahhhhh..” dengan nada manjanya.

Sial, Lia terjebak oleh gombalan Wira. Ia kira beneran serius, ehh taunya. Tapi ada benarnya juga, surga itu di telapak kaki ibu. Lia tersipu malu membayangkan gombalan Wira. Pipinya merona merah muda sama seperti warna gula-gula kapas di tangannya. Dari balik senyum timbul sebuah gigi gingsul yang membuat senyumnya semakin menawan berkali lipat.

“Lia, aku mau nanya? kamu punya cita-cita?”

Lihat selengkapnya