Bulan berguling dengan cepat, pergantian yang biasanya memakan waktu lambat kini terasa sangat singkat. Pagi pun menjelang, masih di sebuah tempat dengan kerumunan orang-orang menggunakan baju putih abu yang sering disebut sekolah.
Masih terekam dengan jelas sebuah kisahnya dengan Lia kemarin lusa. Wira yang sedang berjalan menyusuri lorong antara tumpukan kelas berjalan dengan wajah dihiasi seri. Matanya masih tetap awas menyusuri, tapi di dalam kepalanya ia sedang memutar ulang adegannya dengan Lia.
Kakinya membawa ia kembali ke atas, sebuah ruangan dimana bidadarinya bersemayam setiap pagi. Sebuah ruangan yang ia rela dihukum dulu. Apalagi jika bukan kelas Lia.
Tapak demi tapak ia menyusuri, jejak demi jejak tertinggal berbentuk pola alas sepatunya. Lengkap dengan jaket yang masih ia kenakan, sebuah jaket yang pernah Lia pakai dulu.
Kini, dihadapannya sebuah singgasana bidadarinya terpampang di depan mata. Bola matanya menilik ke dalam, dicarinya sebuah paras yang matanya sudaf hafal. Matanya menjajah setiap sudut ruangan, namun sosok tersebut tidak menampakkan dirinya. Tidak ada batang hidungnya yang muncul ke permukaan sedikitpun.
“Cari Lia?” melihat gelagat Wira yang berada di depan kelasnya, Miya menghampiri dan bertanya memastikan.
“Hehehe.. iyah. Lia kok gak ada?” tanya Wira heran, sembari matanya masih menilik ke dalam.
“Lia gak masuk hari ini, dia sakit.”
“Serius!”
Mendengar apa yang diucapkan Miya, Wira terperanjat bukan main. Bagaimana tidak, di dalam pikirannya ia takut Lia sakit karena dirinya.
“Iya” Miya yang memperhatikan raut yang terkejut bukan main sontak menimpa dengan cepat “Tapi, aku dapat pesan dari Lia kamu gak perlu jenguk dia ke rumah, dia baik-baik aja kok. Mungkin hanya perlu istirahat.” Timpalnya dengan senyum yang dipaksakan.
Perkataan yang tidak sesuai dengan hati akan terlihat dari wajahnya. Jika keadaan Lia baik-baik saja Miya tidak akan menundukkan kepalanya dengan memasang wajah yang sedu. Untung, mata Wira tidak mempergoki wajahnya lantas mengikuti pesan dari Lia.
*****