Wira

Nazarulloh R
Chapter #16

16. Ada Yang Dingin Tapi Bukan Es

Tepat sepuluh hari Lia hilang dari muka bumi, sekarang ia kembali lagi. Ia seperti hilang di telan UFO tanpa tahu ia akan di bawa kemana. Atau mungkin bumi menelannya bulat-bulat, tersedot lubang hitam hingga hilang dari permukaan. Tidak ada sedikitpun kabar darinya.

Mendengar Lia yang sudah masuk kembali, sontak membuat Wira langsung bergegas untuk menghampiri. Waktu masuk sekolah yang sebentar lagi dimulai ia tidak peduli, ia hanya peduli kepada rindunya.

Kini matanya perlahan meleleh melihat gadisnya kembali. Tepat dihadapannya sebuah rupa yang terpampang sedu, sebuah jaket rajut yang sedang memeluknya dan syal yang melingkar di lehernya.

“Kamu kemana aja, Lia?” dengan memasang wajah khawatir.

Tepat di dalam kelas ia sedang mengikis rasa khawatirnya selama ini. Mereka berdua menjadi tontotan teman-teman Lia yang sedari tadi mengolok-olok mereka berdua dengan kata kata ‘ciyee-ciyee’.

Namun ada yang berbeda dari Lia, ia memang sedang sakit tapi memalingkan wajah bukan penyakit orang sakit. Ia tidak melihat wajah Wira sedikitpun meski tangannya yang ia taruh di atas meja sedang Wira peluk. Entah, mungkin jika ada tenaga lebih tangannya pun akan menolak tangan Wira untuk memeluk.

“Ra.. ” sebuah suara yang terdengar lemas mulai keluar dari bibir Lia yang pucat pasi. “Jangan dekatin aku lagi. Ya.”

Wira mengkerutkan dahinya, jelas ia heran apa yang dimaksud Lia. Wira tidak mengerti arti ucapan Lia barusan. Genggamannya semakin erat, ia sedang memastikan apa yang Lia ucap bukan kata-kata yang melantur.

“Maksudnya apa, Lia?”

“Bukankah kata-kata aku jelas.”

“Iya, tapi aku gak tau apa alasan kamu ngomong kaya gitu?” nadanya memohon penjelasan.

Wira sedang berpacu dengan waktu, lima menit lagi jam pertama akan dimulai, ia harus cepat memastikan perkataan Lia.

“Aku gak mau deket-deket kamu lagi.”

“Alasannya?”

“Dulu, kamu pernah bilang, kita tidak perlu alasan untuk sebuah hal. Bukankah kita hanya teman biasa.”

Ia bingung tentang apa yang Lia katakan, Wira tidak menemukan apa penyebab Lia berbicara demikian. Genggamannya mulai melemah, selemah hatinya yang merasakan sakit dari apa yang Lia utarakan. Ucapan Lia bagai belati yang menikam hulu hati, laksana menggoreskan sayatan-sayatan kecil hingga membuat lubang yang menganga; pedih. Dipandanginya sebuh tubuh yang sedang membelakanginya. Ia sedang mencari alasan di balik punggung itu.

Wira tidak mengerti kenapa Lia bisa bersikap demikian. Padahal belum lama ini ia yakin jikalau Lia bisa jatuh ke pelukannya. Baru saja Wira menanam benih harapan di hatinya, agar kelak benih itu bisa tumbuh dan berbunga yang indah. Namun kini, seolah benih-benih yang di tanam enggan untuk tumbuh dan berbunga.

Lihat selengkapnya