Hingga beberapa hari terlewati Lia masih konsisten dengan sikapnya yang menurut Wira aneh, ia menjadi dingin seolah kutub utara pindah ke tubuhnya. Hingga kini Wira masih tidak bisa bertemu dengan Lia, terlebih kedua sahabatnya yang sangat mewanti Wira untuk mendekat, seperti ada tembok tebal yang menghalangi langkah Wira.
Di sebuah pohon dimana tempat favorit motor kesayangan Wira berteduh. Ia berada di bawahnya. Di temani bunga pohon yang berjatuhan yang siap di ganti dengan buah muda. Wira Merenungi dirinya sendiri tentu mengenai Lia. Ia khawatir dengan kondisi Lia, ia bingung dengan sikapnya, dan ia gusar tentang hatinya. Kini di dalam dirinya caruk maruk perasaan yang tidak karuan.
Tentang waktu yang ia berikan untuk menjauh dari Lia, Lia justru semakin menjauh bukan mendekat atau berkata maaf. Waktu bukan menjadi kunci untuk Wira menunggu, ia sudah menunggu namun es yang dingin belum juga mencair.
“Ternyata di sini, aku cari kemana-mana gak ada.” Rangga yang terlihat lega setelah melihat sahabatnya setelah mencari kesana-kemari. “Mikirin apaan si?” tanya Rangga memastikan.
“Biasa!”
“Lia?”
“Siapa lagi kalo bukan dia.”
“Mau sampe kapan kamu gini?”
Wira memperhatikan wajah Rangga, ia menilik sahabat baiknya itu. Wira sedang menafsirkan maksud dari ucapan Rangga. Belum sempat ia menemukan jawaban Rangga menimpa kembali.
“Suka dengan Lia tapi tidak ingin mengungkapkan. Ra, perempuan itu jauh dari itu, terkadang mereka tidak meminta apa yang kita khawatirkan saat ini. Hal yang paling pertama mereka inginkan adalah diyakinkan, mereka ingin kita sebagai laki-laki harus meyakinkan hati mereka bahwa kita akan buat mereka bahagia jika dengan kita.” Rangga masih dengan tatapannya mengarah ke bunga-bunga yang beruguguran di atas pohon. “Jika kamu gak yakin dengan dirimu sendiri gimana kamu mau meyakinkan Lia?”
Di tatapnya lebih dalam Rangga masuk ke dalam bola mata Wira, ia sedang menantikan apa lagi yang akan Rangga katakan kepadanya. Wira merasa ada sosok lain yang sedang berdiam diri di tubuh Rangga, ia berbeda, tak seperti biasanya.
Dengan kepala yang menengadah Rangga menghembuskan napas panjang diikuti dengan memejamkan matanya serasa menikmati oksigen yang masuk melalui hidungnya menjalar hingga paru-paru. Ia keluarkan pelan-pelan, seperti ada beban yang akan ia tanggung, isi kepalanya berputar berisi sebuah gelagat.
Rangga memalingkan wajahnya dari terkaman mata Wira “Kalo kamu masih kaya gini... ” ia terdiam sejenak, mencari kosa kata dalam mulutnya “Aku rasa kamu mundur ajah, Ra.”
Sontak, bola mata Wira membesar, terlihat ia seperti ingin mengeluarkannya. Wajahnya berubah menjadi merah padam, Wira gusar. Ia tidak menyangka sahabatnya akan berkata demikian.
“Maksudnya apa!” Wira menarik baju Rangga agar ia tidak memalingkan wajahnya dan berhadapan langsung. Wira ingin tahu maksud dari perkataannya tadi.