Bagaimana perasaan seseorang yang sedang dimabuk cinta. Namun, seseorang yang ia tuju justru menjauhinya secara perlahan. Tetap maju meski ia menjauh, sama dengan mengejar barang yang bergerak yang tidak akan pernah tergenggam. Seperti melihat pelangi yang teramat dekat, namu tidak kunjung bisa mendekati. Mundur, jika pilihan itu yang terbaik dikiranya telat, rasanya sudah terlanjut meluap.
Lia tidak berjarak, namun perlahan hatinya mulai beranjak. Senyap. Tanpa gerakan dengan aba-aba, namun caranya begitu terasa. Meski nantinya Lia memang akan pergi menjauh, tidak ada jarak yang paling jauh di bumi. Bagi Wira jarak yang paling jauh adalah ketika Wira di sini dan Lia berada di pelukan orang lain; sudah tidak mungkin.
Suatu keinginan atau harapan akan terasa di ujung masa. Kadang suka hanya akan menimbulkan lara, gara-gara suka kita selalu egois kepada diri sendiri. Sudah jelas ia tidak ingin bersama, tapi hati selalu mamaksa untuk bisa bersua hingga menimbulkan luka.
Sudah sepuluh hari saat Lia pertama kali masuk sekolah kembali, tapi sikapnya terhadap Wira masih seperti hari pertama; dingin. Ia ingin Wira tidak mendekatinya lagi. Risih, bosan, tidak suka, atau apa? pertanyaan itu yang masih belum bisa terjawab. Wira masih penasaran dengan apa yang diinginkan Lia. Menjauh? jika memang itu yang diinginkannya, ia bisa saja pindah ke planet Mars, dengan syarat Wira ingin tahu apa alasannya.
Dengan segudang pertanyaan yang menumpuk di kepalanya, dan perasaan hati yang mulai meluber. Ia putuskan untuk menghampiri Lia sekali lagi, meski Wira tahu ia akan tertolak. Tapi, berdiam diri saja tidak akan menyelesaikan masalah. Kertas ujian pun harus di isi meski jawabannya salah.
Langkahnya lebih cepat dari biasanya, di susuri lorong yang tiap hari ia lewati, menaikin satu persatu anak tangga dengan lincahnya seperti tupai yang bisa berlari di ranting-ranting pohon.
Di depan matanya kini sebuah ruang kelas tempat ratunya bersemayam. Lia yang kebetulan ingin keluar kelas untuk menghirup udara segar tidak tahu Wira sudah ada di depan kelasnya. Semesta mengizinkan mereka bertemu.
“Lia”
Lia memalingkan pandangannya, berharap Wira tidak menangkap wajahnya yang mulai memucat.
“Kamu kenapa sih, apa salahku? kenapa tiba-tiba menjauh?” dengan nada penuh tanya Wira memastikan.
Melihat Wira sedang meminta penjelasan, Miya bermaksud untuk mengusir Wira dihadapan Lia hingga pergi jauh dari bumi. Baru satu langkah Miya berpijak tangan Lia menahan badan Miya untuk tidak menghampiri Wira.
Lia lelah jika harus terus berlari, ia bingung jika harus terus bersembunyi, kemana lagi tempat ia bersembunyi. Ia ingin menyelesaikannya sekarang, sebuah pertanyaan yang Wira ingin tahu jawabannya. Ia sadar menjauh dari masalah tidak akan menyelesaikanya. Meski sebuah masalah ia simpan dengan diberi pengawet, tetap saja sebuah masalah tidak akan menjadi basi. Apapun yang akan terjadi masalah tepat harus di hadapi.
“Kamu tanya, kamu salah apa? Sudahkah kamu bertanya sama diri kamu sendiri?” dengan suara yang parau ia mengejah setiap kalimat.
“Apa! justru aku gak tahu aku salah apa Lia, aku rasa kita baik-baik saja sebelum ini terjadi.” Tukas Wira dengan memohon.
Angin yang mulai menerpa ruang kelas lantai dua, memecah keheningan yang mulai tercipta. Lia sedang mengkorek perasaannya, mungkin ia bisa menemukan kaliamat yang tepat untuk di sampaikan.
“Kamu dekatin aku selama ini untuk apa...” suara yang terdengar parau kini mulai meninggi “Untuk iseng ajah, atau cuman bahan pelampiasan!” ucapnya serius
“Aku bisa jelasin.” Wira sedikit memohon.
“Apa? apa lagi yang ingin kamu jelasin? Ra, aku ini perempuan bukan pakaian yang bisa di gantung.”