Mentari mulai beranjak naik ke atas cakrawala. Gumpalan awan yang memenuhi angkasa, langit yang membiru menandakan hari ini akan menjadi hari yang cerah. Wira sudah masuk kembali kesekolah setelah hari lalu ia memarahi kakinya agar tidak masuk. Terlihat juga Rangga yang sudah masuk setelah izin kemarin. Namun ada yang berbeda dari mereka berdua. Mereka seperti kutub utara dan selatan, saling mendingin satu sama lain. Tidak ada yang mengalahkan ego mereka masing-masing. Mereka terlihat canggung atau menjadi asing kembali.
Sebenarnya Wira dan Rangga duduk sebangku, namun entah mengapa Wira memilih untuk menghindar dan pindah ke bangku temannya yang lain. Tidak ada percikan api di mata mereka, namun di senyumnya terpulas es yang dingin.
Tidak ada sedikitpun percakapan yang mereka lontarkan satu sama lain, meski sebuah ucapan basi-basi langsung menciut dan kembali ke dalam tenggorokan ketika terpancar wajah tidak saling peduli.
Sedari pagi Rangga hanya bisa menyaksikan punggung Wira yang berada di depannya dan juga berbeda barisan dengan barisan bangku Rangga. Ia hanya bisa berdiskusi dengan dirinya sendiri, ia sadar bahwa Wira bersikap demikian karena kesalahannya juga yang merebut Lia darinya.
Jam sudah termakan setengah, matahari tepat di atas kepala. Waktunya istirahat.
Rangga mulai bangkit dari duduknya, melewati barisan bangku dan bermaksud untuk menghampiri Wira dan mengajaknya istirahat bersama. Rangga sadar, mungkin ia harus mengalahkan egonya dan memulai lebih dulu.
“Ra, istirahat yu.” Ajaknya.
Wira langsung bangkit dari duduknya, sejurus kemudian ia meninggalkan Rangga tanpa sepatah katapun. Rangga hanya bisa melihatnya yang terus menuju luar ruangan tanpa ada upaya untuk melarang.
Mungkin ini yang dimaksud orang-orang cinta bisa berujung merusak.
Suara hati yang meronta.
Rangga mulai beranjak meninggalkan kelas, menuju kantin sekadar untuk mengisi tenaga agar bisa menghadapi Wira hingga pulang nanti.
Riuh suara orang-orang yang memesan makanan, sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Atau geng yang berkumpul di satu meja. Rangga sudah mendapatkan makanannya dan mulai mencari tempat ia untuk duduk. Dari kejauhan Miya memanggilnya untuk duduk bersama dengan Amanda, sejurus kemudian Rangga langsung menghampiri mereka berdua.
“Kemana Wira?” tanya Miya enteng. “Ohh iya, maaf Ga. kamu pasti belum baikan ya.”
Membuang napas “Yah, begitulah.” Setelahnya mengkat kedua bahunya. “Ngomong-ngomong gimana keadaan Lia?”
“Masih seperti kemarin. Ga.”
“Semoga cepat membaik.”
Rangga, Miya, dan Amanda sedang menghabiskan makanannya dengan lahap diselingi tentang bercerita perihal kesehatan Lia. Tidak lama berselang Wira terlihat sedang mencari bangku setelah ia memesan makanannya. Rangga langsung memanggilnya.
“Ra! Sini bareng.”
Wira melihatnya, namun tidak ia gubris. Wira lebih memilih duduk bersama kawan-kawannya yang lain. Meski biasanya mereka habiskan waktu disekolah selalu bersama. Seperti paket komplit baso dan es teh manis yang tidak bisa dipisahkan.
Waktu berguling dengan cepat, mata pelajaran selanjutkan akan dimulai. Namun guru mata pelajaran belum juga datang, masih terlihat beberapa siswa yang membandel masih berdiam diri di luar kelas meski jam istirahat sudah habis.
Rangga yang berniat mengecek apakah ada guru mata pelajaran di ruangannya mahal bertemu dengan Wira yang baru kembali dari toilet. Langkah mereka saling berhadapan, Rangga menatap Wira, sedangkan Wira membuang muka. Ingin rasanya Wira kembali dan memutar arah saja agar tidak bertemu dengan Rangga, namun rasanya percuma. Ia sudah melihat.
Adegan pertemuan mereka pun terjadi..
“Ra, sorry kalo aku salah.”
“Ahhh, urat malunya udah putus boy?” dengan nada merendahkan. “Sorry boy, aku gak punya temen yang nikung dari belakang. Anggap ajah kita gak pernah kenal.”
Secepat kilat Wira beranjak meninggalkan Rangga. Dan Rangga, ia hanya bisa berdiam diri. Tanpa bisa menahan Wira untuk pergi.
*****