Wira

Nazarulloh R
Chapter #22

22. Bahagia Itu Sederhana

Kamu memintaku untuk pergi setelah dia menjadi pilihanmu, seorang lelaki yang bisa menjagamu. Katamu, dia bisa mengertikanmu saat ini dari pada aku

. Kamu tahu, langit terasa runtuh kala itu, ketika aku tahu kamu memilih sahabatku sendiri.

Dengan menaiki kuda besinya Wira menyusuri aspal jalan. Di bawah pelataran senja dan keindahan cakrawala yang mulai membias. Ia berselimutkan badan merenungi dirinya sendiri, memutar kembali ingatan kala itu yang membuat jagat rayanya porak poranda. Ia tarik pelan gas motornya, sorak-sorak angin terdengar di telinga, terselip suara Lia yang mengatakan ia harus pergi, membuat lubang yang belum sempat menutup di hatinya kembali menganga.

Kenapa harus Rangga!!

Tangannya mencengkram dengan kuat, gas motor di tariknya penuh hingga motor melesat dengan kecepatan cahaya. Wira ingin cepat sampai di kamarnya, ia ingin ingatan di kepalanya berhamburan di jalan, agar lupa dengan semuanya, tentang Lia, tentang perasaannya.

*****

Usaha Wira gagal, sekencang apapun ia mengendari motor kenangan tidak akan bisa berhamburan di jalan. Di kamarnya kini ia hanya bisa berdiam diri. Ia jatuhkan badannya di atas kasur, dipandanginya langit-langit kamar yang membias menyamarkan wajah Lia.

Sekarang kamu sakit dan aku harus pura-pura tidak peduli, itu bodoh. Lia. Kamu tahu entah hatimu untuk siapa, namun hatiku masih memilih mu, cinta sudah membuatku menjadi bodoh. Aku harus menggunakan topeng yang membuatku seperi baik-baik saja, tanpa orang lain tahu di dalam diriku tidak tersisa apa-apa selain kata hancur.

Wira menutup wajahnya dengan bantal berharap wajah Lia tidak membayanginya lagi.

Langit sudah di kuasai oleh gelap, titik-titik cahaya mulai menerangi. Malam semakin larut namun mata Wira menolak untuk diajak tidur. Diingatannya masih perihal Lia yang sedang sakit.

Apakah kamu baik-baik saja Lia, semoga semesta masih berbaik hati padamu meski kamu tidak berbaik hati denganku.

Wira khawatir dengan keadaan Lia, terlebih ia tahu Lia dibawa ke rumah sakit setelah perkelahiannya dengna Rangga. Itu membuatnya merasa bersalah. Namun, Wira tidak bisa berbuat apa-apa, Lia pun sudah tidak mengizinkannya untuk mendekat bukan?

Tanpa di sadari matanya perlahan meredup, tenaganya mulai menghilang, kesadarannya beranjak pamit.

Di alam mimpi...

Di sebuah taman dengan hamparan sabana yang sangat luas hanya ada satu buah pohon besar di sana. Di bawah pohon yang sedang berbunga, Wira duduk bersama Lia. Lia manggunakan pakaian serba putih, wajahnya terpancar cahaya, ia terlihat sangat cantik dari biasanya.

Bunga-bunga di pohon mulai gugur menimpa mereka berdua, semilir angin menemani duduk mereka agar lebih nyaman. Wira terlihat sangat bahagia, karena ia bisa mengulangi kejadian di taman waktu itu sekarang. Di mana dia bisa berdua dengan Lia menikmati sore yang akan beranjak pergi.

“Ra”

“Iyah, kenapa Lia?”

“Aku ingin, kamu jangan deketin aku lagi ya.” Pintanya.

Rasa bahagia dalam diri Wira mulai mencair menjadi kalut, Wira memandangi wajah Lia yang bersinar cerah.

“Kenapa? Apakah aku tidak baik buat kamu?” tanya Wira.

“Engga Wira, justru kamu adalah laki-laki baik yang pernah ada dalam hidupku.”

“Lantas?” tanyanya memastikan.

“Aku akan pergi.”

“Pergi?”

Lia menengadahkan kepalanya, melihat langit yang cerah, burung-burung yang terbang dengan bebasnya. Wira tetap memperhatikan wajah Lia yang dikelilingi oleh cahaya bak malaikat.

“Ra, aku akan pergi kelangit itu, terbang seperti burung-burung yang bebas kemana pun tanpa ada yang melarang.”

Lihat selengkapnya