Kotak plastik berisi makan siang sudah berpindah ke dalam perut, ludes tanpa tersisa sebutir pun nasi di sana. Amanda hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah Wira mengambil butir demi butir nasi yang tersisa di dalam kotak makan.
“Kamu makan kaya gitu aku jadi inget kata ibuku.”
“Emang kata ibu mu apa?” tukas Wira bertanya.
“Kata ibu, makan itu harus di habisin nanti nasinya nangis.” Selepasnya Amanda tertawa.
Wira ikut tertawa, kemudian menimpa “Tapi menurut ibuku beda.”
“Beda? Menurut ibumu apa?” Tanya Amanda penasaran.
“Kalo anak laki-laki makan harus dihabisin, biar nanti istrinya cantik. Makanya aku selalu habisin makanan, biar dapet istri yang cantik.” Mereka saling melepas tawa. “Apalagi kalo cantiknya kaya kamu. Man.”
Seketika petir menyambar Amanda, tawanya terhenti kemudian melihat Wira yang masih dengan tawanya. Rasanya punggung Amanda akan muncul sayap kemudian terbang ke langit ke tujuh.
“Engga-engga. Man. Bencanda kok becanda.”
“Iya. Ra. Engga apa-apa.”
Belum sempat sayapnya merekah tiba-tiba melebur terbawa oleh angin kemudian menghilang. Namun tetap, ia anggap itu sebuah pujian.
Wira menaruh kotak plastik itu di sampingnya. Sejurus kemudian ia terdiam tanpa sebab. Suasana berubah menjadi hening, angin yang terus menampar wajah mereka berdua, daun-daun yang terus terjun bebas.
Bibir Wira menjadi kalut, ia gigiti bibir bagian bawahnya seperti ada yang ingin ia sampaikan namun kata-kata itu tertahan di kerongkongannya. Amanda memperhatikan yang dilakukan Wira, ia pun menjadi keheranan. Baru saja es dalam dirinya mencair kini sudah beku kembali.
Amanda masih menunggu Wira, ia masih tetap dengan diamnya dan berharap Wira berbicara sesuatu lebih dulu. Amanda yang malu-malu kini sudah menjadi perempuan yang berani, berani untuk memulai lebih dulu. Ia kumpulkan keberaniaanya untuk bertanya perihal apa yang membuat Wira terdiam seperti sedang memikirkna suatu hal. Tubuhnya disini, namun pikirannya entah berlarian kemana.
“Ra, kamu kenapa?”
“Man..” Wira mulai mengeluarkan suara.
“Iya. Ra.”
“Aku semalam mimpi Lia.”