“Ra...” tangannya mendarat di pundak Wira yang sedang dalam posisi menyatu di meja.
Sejurus kemudian Wira mulai membangunkan badannya yang sudah menempel dengan meja, dan melirik ke samping kirinya.
“Ehhh... “ suaranya enggan keluar karena ragu. “Kamu masih marah, Ra?”
Dengan memasang muka malas ia buang udara dalam paru-parunya.
“Udahlah, Ga. Aku engga mau bahas itu lagi.” Nadanya sedikit meninggi.
“Tapi, Ra. Kita engga bisa saling menghindar seperti ini. Kita harus selesaiin masalah ini.”
“Yang bikin masalah ini siapa sih? Kamu kan? Aku udah lupain masalah kita, sekarang kalo kamu pengen Lia, Silahkan Ambil!”
Wira keluar dari bangku dan membawa tasnya ikut pergi bersama, ia meninggalkan kelas. Meski jam terakhir dan guru sedang tidak ada namun jam belajar belum habis, namun Wira memilih meninggalkan kelas lebih dulu.
Sudah beberapa hari dari kejadian itu kedua sahabat ini tidak lagi baik dalam hubungannya, mereka saling menghindar satu sama lain, saling dingin, jangankan mengobrol sekadar menyapa pun saling enggan.
Wira menganggap Rangga adalah penghianat yang merebut wanita idamannya selama ini, tidak habis pikirnya kenapa Rangga bisa melakukan demikian, seperti tidak ada lagi wanita di bumi ini.
Dulu kita sedekat jemari, sekarang kita jauh seperti mata dan telinga, yang terasa dekat namun sulit untuk di tatap. Sedekat apapun hubungan akan hancur oleh penghianatan, terkadang mengucapkan ‘maaf” sangatlah mudah, namun menerimanya kembalilah yang sulit. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk menerima. Jikapun iya, rasanya tidak akan seperti dulu lagi.
Jam sekolah sudah selasai, para pasukan putih abu siap kembali ke markas mereka masing-masing setelah lelah berperang dengan pelajaran. Sore menjelang, langit senja tampak anggun dengan kuning emasnya, segerombolan burung yang pulang setelah lelah tualang.
Wira memacu kuda besinya perlahan, menikmati senja seperti anak-anak indie dengan kata-kata picisan, atau segelas kopi dalam genggaman. Wira melihat sekeliling di jalan yang ia lewati, membaca setiap tulisan yang ia temui, melihat orang-orang yang sibuk lalu-lalang untuk pulang.
Di pertigaan jalan raya ia berbelok ke kanan jalan, kemudian masuk ke gang kampung rumahnya, dari jalan raya ke rumahnya lumayan agak jauh. Di gang yang cukup untuk di lewati dua mobil ini jalan yang biasa ia lewati, setiap hari baik berangkat atau pulang sekolah. Wira masih memperhatikan sepanjang jalan yang ia lewati dan kini di gang kampungnya ia melihat anak-anak yang sedang bermain bola sampe bajunya kotor dengan tanah, mas-mas penjual baso yang sedang mendorong gerobaknya, anak kecil yang berangkat mengaji bersama ibu dengan muka yang penuh dengan bedak.
Setelahnya ia sampai di tempat paling nyaman di bumi ini. Rumah...
“Anak ibu udah pulang.” Suara ibu menyapa. “Itu muka kenapa? Gak karuan gitu. Kenapa? Masih belum baikan sama Rangga?”
“Iyah, gitu deh bu.” Ujar Wira.