Mesin waktu menyeret Miya kembali ke hari yang pernah ia lewati dulu, kala ia sedang duduk berdua di taman bersama Lia. Hari yang mereka lewati tadi sangat melelahkan. Hingga, mereka ingin melepaskan penat sejenak di bangku taman.
Menikmati suasana sore nan teduh, suara kepakan puluhan merpati yang bergemuruh. Mereka bercerita tentang hari ini yang tadi terlewati, tentang cerita Lia yang ketahuan Pak Tobi sedang melakukan hal konyol yang membuatnya menjadi malu.
Pancaran cahaya terbit dari sela-sela pohon di taman, cahaya sore hari yang sebentar lagi akan meredup. Lia terdiam sejenak, kepalanya menengadah kelangit melihat burung-burung yang mulai berterbangan.
“Semakin hari, perasaanku sama Wira semakin timbul ke permukaan, Miya.”
“Kenapa kamu engga pernah bilang, apa kamu malu memulai lebih dulu?” Tukas Miya.
“Bukan Miya, bagiku cinta bukan tentang siapa yang harus lebih dulu memulai. Tapi..”
Miya mememotong “Tapi apa?”
“Aku engga ingin menyakiti salah satu temanku, apalagi jika menghancurkan pertemanan kita.”
“Maksudmu?” Tanya Miya penasaran.
“Aku engga tahu, apakah ini benar atau hanya peresaanku saja. Tapi, ada yang berbeda di diri Amanda jika berdekatan dengan Wira.”
“Tunggu, aku belum ngerti maksudnya apa.”
“Sederhananya, Amanda juga suka dengan Wira.”
Mata Miya membulat, mendengar apa yang Lia katakan tadi.
“Kamu yakin?”
“Aku udah bilang aku engga tau. Tapi, di saat ada Wira, Amanda terlihat sangat senang, ada mata yang diam-diam mencuri wajah Wira, ada senyum yang kadang dipaksa untuk tidak muncul. Tapi kenapa aku selalu mempergokinya.”
“Aku engga nyangka.”
“Aku pun sama, tapi aku engga pernah masalahin itu. Semua orang punya hak untuk jatuh hati sama siapapun bukan?”
“Terus, apa yang akan kamu lakuin?”
“Seperti biasa, menjalani kehidupanku dengan kalian berdua. Aku tidak ingin cinta ini akan merusak semuanya.”
“Tapi bagaimana dengan perasaan kamu?”