Wiratama

Setia S Putra
Chapter #1

Chapter #1 Hanya Penyesalan

Sudah sebulan ini, ke mana saja? Sang sahabat telah pergi. Tentu saja Irfan  tidak lagi bisa menemaninya di kedai kopi saat pulang di kotanya. Jika tahu sedekat apa hubungan mereka, apakah pantas hal seperti itu mendapat sebuah kemakluman? Sesibuk apa pekerjaannya? Atau semahal apa harga tiket kereta untuknya bisa menghadiri hari pemakaman Wiratama?

"Maafkan aku," gumamnya, lantas duduk menatap batu nisan yang tertancap di atas pusara. Maaf, katanya, hanya kata itu yang terucap? Mohon dimaklumi saja, mungkin tidak ada lagi kata selain maaf. Karena sudah terlambat.

Sementara itu kabut tipis menggantung di antara pohon-pohon mahoni yang mengelilingi pemakaman. Udara sejuk menghembus lembut, membawa aroma tanah basah sehabis hujan sore itu.

Irfan masih duduk, lututnya ditekuk, kedua tangannya bersandar pada tanah yang sedikit becek. Diam dia, masih termenung lama di depan pusara itu. Matanya menatap nisan batu bertuliskan nama lengkap Wiratama Purnama, dengan tahun kelahiran dan wafat yang baru sebulan lalu. Angka-angka itu tampak seperti penghinaan bagi waktu yang terlalu singkat untuk sebuah kehidupan yang berarti.

Jaket varsity biru dikenakan Irfan basah karena hujan dan celana cargo masih menyisakan debu dari perjalanan jauh. Di tangannya, tergenggam sebatang rokok yang belum sempat ia bakar. Irfan hanya menatapnya, seakan menimbang-nimbang apakah kesedihan bisa diredam dengan kepulan asap.

Lagi-lagi, tidak ada kata lain selain maaf yang tergumam. Tak ada doa panjang, karena ia tidak hafal ayat-ayatnya. Tidak juga menangis, karena percuma menangisi seseorang yang kepergiannya mustahil untuk kembali.

Hanya penyesalan yang terus memutar pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Sungguh sulit baginya untuk memahami ini akan terjadi. Kenapa begitu cepatnya dia pergi? Kenapa di hari kematiannya bertepatan dengan harinya yang penuh sibuk? Dan, kenapa tidak sedikit pun bisa membantunya ketika menderita?

“Aku kira ucapanmu kemarin hanya lelucon... ternyata benar-benar terjadi,” gumamnya lagi, sungguh tidak bisa dinalar.

Sebulan lalu, tepatnya pukul 08.30 pagi hari, grup chat teman-teman kelas SMA ramai. Sedikit heran dibuatnya, karena grup chat yang pada awalnya tidak pernah ada notifikasi, tiba-tiba saja ramai sampai mengusik Irfan yang sedang bekerja. Hal itu memaksa Irfan ikut melihat apa yang sedang terjadi di sana.

Termenung seketika di meja kerja, ketika Irfan baru saja membaca apa yang sedang dibahas teman-temannya—kematian Wiratama. Beberapa dari mereka mengatakan kematian Wiratama mendadak, dia juga tidak sakit, bahkan beberapa dari mereka ada yang baru saja bertemu dengannya. Ya.. itu yang mereka tahu, tapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Wiratama. 

Irfan masih tidak mengetik apa-apa di pesan grup itu. Masih tidak percaya tampaknya, sang sahabat telah pergi begitu cepat, padahal baru 2 hari sebelumnya bertemu, duduk berhadapan di kedai kopi dari siang sampai matahari hampir tenggelam.

Sampai akhirnya Indra salah satu dari mereka yang ada di grup kelas SMA itu mengirimkan chat pribadi kepada Irfan, “Teman sebangkumu nggak ada, Fan.” Terlampirkan sebuah foto kondisi rumah Wiratama yang statusnya saat itu menjadi rumah duka.

Indra tidak mengirimkan chat lagi setelah itu. Entah mungkin sedang menunggu balasan dari Irfan, atau ia tahu kesibukan Irfan sampai tidak merespon berita duka yang datang dari sahabatnya.

Tapi yang sebenarnya, Irfan sendiri tidak tahu harus berkata apa, atau harus berbuat apa. Dan benar, Irfan hanya duduk mematung, menatap layar ponselnya yang kini sudah tidak menampilkan apapun selain pantulannya sendiri.

Lihat selengkapnya