Sebuah ironi terpampang nyata di hadapan Irfan saat itu. Sosok yang seharusnya hidupnya sejahtera, yang selalu berusaha menjamin kebutuhan orang lain, justru tampak kasihan. Di mana kebaikan yang harusnya ia dapatkan, dari kebaikan-kebaikan yang telah ia berikan? Ironis sekali, seorang Wiratama yang terlalu sering menyelesaikan masalah orang lain, pada akhirnya justru tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Terkenang tentang semua itu, sebuah kehancuran yang Irfan saksikan, kembali berkelebat pada pertemuan mereka di kedai kopi, dua hari sebelum kabar kematian mengguncang grup chat SMA, tepat di hari terakhir sebelum Irfan kembali ke kota rantauannya.
Siang hari tepatnya, sebuah kedai kopi yang berdiri seperti rumah minimalis di tengah perkampungan. Pagar kayu coklat tua, tembok yang bersih, dan tanaman gantung di teras depan memberikan kesan seperti rumah teman lama yang senang menerima tamu.
Irfan dan Wiratama turun dari motornya, setelah terparkir sempurna di halaman depan kedai yang langsung disambut ruang outdor, dengan beberapa meja dan kursi kayu ditata rapi di bawah rindangnya pohon ketapang dan pucuk merah, yang dibiarkan tumbuh dan terawat. Mereka datang berboncengan, Irfan yang menjemput Wiratama di rumahnya.
Lantas mereka masuk ke dalam rumah kedai itu, suasana berganti lebih tenang ketika memasuki ruangan tengah. Langkah mereka langsung tertuju ke arah bar untuk memilih menu. “Nggak usah, aku saja yang bayar,” kata Irfan, ketika sempat melihat Wiratama hendak mengeluarkan dompetnya.
“Habis gajian nih kayaknya...” Wiratama menggoda. Irfan hanya tertawa kecil dibuatnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ada beberapa alasan, yang pertama ia bertemu Wiratama hanya setahun sekali, dan yang kedua ia satu-satunya teman yang sangat mengerti kondisi Wiratama. “Bayar QRIS ya, kak,” katanya kemudian kepada seorang kasir, “Duduknya di semi-outdor.”
Untuk menjangkau ruang semi-outdor di kedai itu, Irfan dan Wiratama harus melewati lorong kecil yang diapit tembok dan pagar tanaman. Atap rumah masih menaunginya, tapi angin masih bebas masuk. Meja kayu panjang menempel pada pagar belakang. Kursi-kursi bar tertata rapi sepanjang meja itu, dan mereka memilih salah satu dari beberapa yang tersedia.
Sedari tadi saat menjemput Wiratama di rumahnya, ia merasa ada perbedaan yang sangat signifikan. Jika dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya... setahun yang lalu, perbedaan itu jauh lebih buruk. Mulai dari kondisi fisik, tubuh yang kurus, lingkar mata menghintam, dan hal yang paling mengejutkan—Wiratama merokok.
“Wajar kan, laki-laki merokok?” ucap Wiratama, sebagai respon pertanyaan dari Irfan yang tampak heran atas perilaku itu. Dengan lihainya dia mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya. Tampak tenang dia memandang hamparan sawah, sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi bar yang hanya menompang bagian lumbarnya.
Memang hal yang lumrah lelaki merokok, tapi menurut Irfan selama sepuluh tahun mereka berteman, baru kali ini melihatnya merokok dengan begitu luwesnya, tidak seperti orang-orang yang baru pertama kali merokok, “Udah lama ya?”
“Baru seminggu ini,” jawab Wiratama.
“Anjing... serius, Wir.”
“Emang kenapa, Fan? Aneh ya?” Wiratama tertawa renyah.
Irfan menggeleng-gelengkan kepala, masih tidak memahami apa yang membuatnya memutuskan merokok, “Aku ngerokok sejak kelas 1 SMA, Wir. Sekarang aku mau berhenti merokok itu susahnya minta ampun. Terus kamu yang anaknya nggak pernah merokok sejak SMA, tiba-tiba ngerokok. Pasti ada masalah.”