Terlepas dari semua itu, pada masa itu, keluarga Wiratama adalah gambaran kemapanan di sebuah rumah tangga. Darto, ayahnya, seorang masinis di kereta api penumpang jarak jauh, pilar kokoh yang menopang keluarga. Sedangkan ibunya, Rahayu, dengan tangan cekatannya mengelola usaha katering yang berkembang di rumah. Sebuah kehidupan yang jauh lebih layak, mungkin, dibanding banyak keluarga lain di sekitar mereka.
Tepat siang itu, Wiratama berdiri di depan mobil sedan putih tahun dua ribuan pemberian ayahnya, yang setia menemaninya kuliah sejak awal semester. Tangan kirinya mengusap peluh dari pelipis. Sambil menunggu Kirana keluar, tangan kanannya sibuk mengetik pesan klien di ponsel. Matanya sesekali melirik ke arah pintu jurusan.
Kirana muncul kemudian, membawa map ujian dengan senyuman mengembang. Wiratama melambaikan tangan. Perempuan itu mengenakan kemeja putih yang sudah tak begitu rapi, dengan rambut diikat seadanya. Wajahnya bersih, akan tetapi lelah tak bisa bohong dari sorot matanya. Mereka sama-sama baru saja menyelesaikan mata kuliah spesialisasi terakhir. Semester delapan, menjadi penanda bahwa babak baru akan segera dimulai.
Wiratama membukakan pintu penumpang. Suaranya ringan mempersilakan Kirana untuk masuk lebih dulu. Kirana masuk segera, duduk di jok sebelah kiri dengan meletakan mapnya di pangkuan.
“Akhirnya kelar juga...” Begitu yang dikatakan Kirana, ketika Wiratama baru saja menduduki jok kemudi. Wiratama hanya mengangguk tersenyum dan mengusap-usap rambut kekasihnya yang bergelombang sebagai responnya, lantas segera menyalakan mesin mobil, menyesuaikan spion, lalu perlahan keluar dari pelataran parkir kampus.
Mobil melaju pelan di jalanan sekitar kampus yang mulai merayap. Kirana membetulkan letak duduknya. Map di pangkuannya dibolak-balik tanpa tujuan jelas. Ia menatap keluar jendela, ke barisan pohon trembesi yang menggugurkan bayangan di trotoar. “Sedikit lagi udah selesai, ya?” katanya, tanpa menoleh. “Udah capek banget. Pengen cepet nikah.”
Wiratama tertawa mendengarnya, “Rampungin dulu skripsinya kali ya.. Terus kerja dulu.”
Senyum terlihat mengembang di wajah Kirana yang berbentuk oval, ketika mendapati jawaban Wiratama. Ia tidak mengatakan apa-apa setelahnya, hanya merapikan rambut poninya yang lurus menutupi dahinya.
Kirana tahu, pasti itu yang akan terucap setiap ia membicarakan soal ‘nikah’. Sudah berapa kali Wiratama mengatakan itu. Rencananya setelah lulus kuliah, kerja dulu paling lama dua tahun, baru mau nikah. Pengennya mereka menikah tidak mau serumah dengan orang tua. Minimal ngontrak rumah sendiri.
“Kan, kita udah sepakat,” kata Wiratama.
“Iyaa.. iyaa..” Begitulah respon Kirana.
Ponsel Wiratama bergetar tak lama. Ia melirik sejenak, lalu mengangkat alis tebalnya. “Kita jemput Laras dan Arum dulu ya,” katanya, setelah sedikit membaca chat dari ayahnya yang melayang di notifikasinya. “Itu komandan udah nyuruh.”
Kirana sedikit mengintip, lalu tertawa setelah tahu pesan itu. “Okee..” jawabnya, kemudian kembali menyandarkan kepala ke jok.
“Yaa.. ginilah ribetnya punya adik banyak.” Wiratama tertawa.
“I know... Untungnya aku anak bungsu,” sahut Kirana sambil nyengir menatap Wiratama yang ada di sebelahnya.
“Bersyukurlah atas kenikmatan itu,” gumam Wiratama, matanya tetap lurus ke jalan.
“Tapi, kakakku udah nggak ngurusin aku lagi semenjak dia nikah,” kata Kirana tiba-tiba. “Dia tinggal di kota istrinya, setahun sekali pulangnya.”
“Kalau aku udah nikah sama kamu, mungkin juga akan seperti kakakmu.”
“Kita pacaran aja diribetin adik-adikmu. Apa lagi kalau udah nikah.” tungkas Kirana, bercanda maksudnya.
“Pasti ada saatnya mereka bisa dilepas sendiri.”