Wiratama

Setia S Putra
Chapter #4

Chapter #4 Tragedi

Jelas, tidak bisa dihindarkan peristiwa itu. Selihai apa Darto dalam pekerjaannya, walau sudah menghela tuas pengereman darurat, tetap saja dengan jarak hanya 1,5 kilometer, kereta dengan kecepatan tinggi tidak bisa berhenti dengan tepat.

Sore itu, di jalan Margopuro, seluruh kendaraan berhenti total. Para supir truk, dan beberapa penumpang bus melihat pemandangan yang luar biasa mengerikan. Langit jingga senja terpadukan kobaran api di jembatan rel Sungai Gandol, bagaikan lukisan apokaliptik.

Kereta api bagaikan ular besi yang terpenggal kepalanya, teronggok menutup jalan, mengakibatkan jalan lintas provinsi terhambat. Asap hitam mengepul dari arah jembatan rel Sungai Gandol, membumbung, menebar bau besi terbakar dan solar hangus ke udara.

Sirine meraung dari kejauhan bersahut-sahutan. Di pinggir jalan kendaraan sudah lebih dari satu jam terhenti tanpa kepastian. Para pengendara turun dari mobil dan truk mereka. Ada yang merokok sambil mengumpat, karena pengiriman terlambat. Ada yang memotret kejadian dengan ponsel mereka. Beberapa yang lain hanya diam, menatap kepulan asap dengan wajah kosong, seakan belum sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi.

Di balik pagar pembatas, terlihat rel besi melengkung kehitaman, seperti tulang yang hangus terbakar. Lokomotif yang semestinya gagah, kini hanya kerangka baja terbakar, sebagian tubuhnya terbenam di tepian jembatan.

Dua gerbong penumpang terlintang membentuk zig-zag, menutup jalur kereta. Salah satunya ada yang ikut terbakar, satu gerbongnya lagi terguling ke semak-semak, dan satu lainnya tergelincir ke Sungai Gandol. Perlintasan Margopuro yang memiliki jalur dua arah dan biasanya dilewati puluhan kereta setiap harinya, kini lumpuh total.

Tidak ada yang benar-benar siap menyaksikan tragedi di depan mata. Tapi seperti biasa, para warga dari pemukiman di seberang sawah sana, justru datang, membawa anak-anak, bahkan ada yang berdiri dengan sandal jepit dan tangan memegang es lilin. Ini sebuah bencana, tapi mereka jadikan itu sebagai tontonan, seolah-olah warga di sana tidak punya hiburan. Kasian sekali.

Tiga jam setelah kejadian, garis polisi mulai dipasang. Petugas kepolisian, tentara, dan relawan kemanusiaan sibuk mengevakuasi. Api baru bisa dipadamkan, setelah beberapa mobil pemadam setempat datang menyusuri jalan yang penuh sesak itu.

Berita menyebar dengan cepat. Media menyorot peristiwa ini sebagai tragedi nasional. Banyak yang menyebutnya sebagai kecelakaan kereta api terburuk dalam lima tahun terakhir. Tapi yang tidak diberitakan adalah tangisan di rumah-rumah yang kehilangan seseorang, luka yang tidak tampak di headline berita.

Darto, masinis yang telah mengabdi lebih dari dua puluh tahun ditemukan tak bernyawa, terjepit di dalam kabin lokomotif. Di sisinya, tubuh asisten masinis muda yang baru tiga bulan ditugaskan di jalur utara, terbujur hangus.

Seseorang dari regu penyelamat menunduk dan menggeretakkan gigi saat melihat kondisi mereka. “Masih muda,” katanya, “gara-gara truk brengsek itu...”

Truk yang mogok di tengah perlintasan rel itu menjadi tuduhan bersalah. Sopirnya kabur, katanya hendak cari bantuan atau—melarikan diri. Ada juga tuduhan terhadap petugas perlintasan, yang katanya terlalu lambat menutup pintu perlintasan, dan terlambat memberikan sinyal darurat ke kereta.

Lihat selengkapnya