Bagi sebagian orang, duka adalah proses yang membutuhkan waktu, mungkin seratus hari. Tapi bagi Wiratama, kehilangan ayahnya, penopang hidupnya, seratus hari tak cukup baginya untuk benar-benar melepaskan.
Memang awalnya Wiratama meminta waktu 100 hari untuk bisa melepaskan semuanya. Tapi, ini sudah hampir setahun skripsinya mangkrak, ia juga kehilangan pelanggan freelancenya karena terlalu sering menolak job dari klien.
Sejak kepergian ayahnya, sifat Wiratama menjadi anak pemurung. Yang biasanya dekat dengan adik-adiknya, mengantar-jemput ke sekolah, semenjak itu tak lagi ia lakukan. Tugas itu kini di-handle Rinanti.
Wiratama selalu mengurung dirinya di dalam kamar. Ia jarang sekali kelihatan di kampus. Juga Kirana, ia mengerti Wiratama sedang mengalami hal yang sangat berat, tapi karena itu mereka sudah jarang sekali bertemu.
Sudah hampir enam bulan sejak terakhir kali mereka duduk berdua di kedai kopi, membicarakan masa depan yang terasa semakin abstrak. Sejak kepergian ayah Wiratama, langit seolah selalu mendung bagi pemuda itu. Tak ada lagi pesan-pesan singkat seperti dulu, tak ada ajakan mendadak untuk makan mie ayam—biasanya Wiratama selalu ngidam tiba-tiba pengen mie ayam, mau nggak mau Kirana harus menemaninya. Juga, biasanya Kirana selalu ditemani Wiratama pergi ke mall.
Sore itu, Kirana duduk di kantin kampus, menatap layar ponsel yang kosong. Tidak ada balasan dari Wiratama. Kopi dinginnya sudah separuh tersisa, rasanya sudah hambar. Di meja seberang, dua orang sejoli sedang tertawa, bercanda tentang hal-hal receh. Suara mereka berhasil memutar ingatannya ke masa lalu yang terlampau jauh. Masa ketika ia dan Wiratama masih bisa menertawakan hidup.
“Kalian ini marahan atau gimana sih?” tanya Lina, seorang teman yang baru kembali dari kamar mandi.
“Nggak marah,” jawabnya, “lebih ke—hilang arah.”
Bagaimana mungkin bisa marah pada seseorang yang sedang tenggelam dengan dukanya? Tapi sampai kapan ia harus menunggu seseorang yang bahkan tidak tahu sedang berdiri di tebing atau sudah jatuh ke dasar jurang?
Di rumah Wiratama, suasana tidak jauh berbeda. Rinanti kini lebih sering bolak-balik membawa adik-adiknya. Arum yang sudah kelas 6, kadang-kadang masih bertanya, “Kak Wira sakit, ya? Kenapa sih dia nggak pernah keluar kamar?”
Dan Rahayu hanya menjawab dengan senyuman lelah. Ia sudah terlalu sering mengucapkan kata sabar kepada dirinya sendiri, sampai akhirnya tak lagi yakin apakah ia benar-benar sabar, atau sudah menyerah.
Di balik pintu kamar yang selalu tertutup itu, Wiratama duduk membelakangi jendela. Laptop menyala hanya untuk memutarkan musik. Aplikasi desain, file skirpsi tidak pernah dibuka sama sekali. Bab 4 skripsinya sejak enam bulan lalu tidak ada kemajuan.
Sesekali ia sempatkan keluar, hanya untuk mandi, ngambil makan, dan membuat kopi. Entah kebiasaan, atau sisa-sisa harapan yang belum ia kubur. Tidak pernah lagi membuatkan kopi susu gula aren, ia terlalu malas bergerak untuk membuat espresso di mesin kopi yang dibelikan ayahnya. Yang bisa ia buat hanya kopi hitam tubruk, tanpa gula. Sebuah ritual sore yang ia jalankan meski tidak ada pekerjaan, tidak ada tujuan.
Hanya saat perutnya benar-benar lapar atau kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda, Wiratama akan muncul dari balik pintu kamar. Terkadang, Rahayu sudah menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk kesukaannya di meja makan. Setiap kali mata mereka bertemu, Rahayu akan mencoba menyapa, “Wira, Nak, makan yang banyak ya,” atau “Kamu baik-baik saja, Nak?” Namun, Wiratama selalu melengos, menghindari tatapan, dan segera kembali ke kamarnya dengan sepiring nasi di tangan.
Di luar, Rinanti lalu-lalang, mengantar Laras dan Arum sekolah, menggantikan peran kakaknya yang menjadi moda transportasi mereka. Kini, Rinanti tak pernah lagi meminta bantuan Wiratama. Ia tahu, pintu kamar kakaknya akan tetap tertutup, kecuali ketika ia keluar sekadar untuk buang sampah, meletakan piring-piring kotor, atau menjemput sepiring nasi di dapur, lalu kembali ke kamar.
Penampilan Wiratama saat itu—oh jelas, rambut ikalnya sudah tak berbentuk lagi, rambut tipis di dagu dan rahangnya menebal. Gembel pun minder melihatnya. Baju yang ia kenakan tampak seperti belum dicuci dalam seminggu. Kaus oblong lusuh warna abu-abu yang dulunya tampak keren saat dipadukan dengan jaket denim dan sneakers putih. Tapi sekarang? Kusam, lecek, dengan lubang kecil di bagian ketiaknya. Ia sendiri tampaknya sudah berhenti peduli pada dirinya sendiri.