Tidak ada sahutan dari ketukan pertama. Kirana menunggu dengan sabar. Lima detik... sepuluh detik... Ia hendak mengetuk pintu lagi, namun suara gemerisik terdengar dari balik pintu. Kemudian pintu bergerak, menciptakan celah beberapa sentimeter.
Hingga akhirnya muncul wajah Wiratama—kusam, rambut awut-awutan, mata sembab. Wiratama diam menatapnya, sementara Kirana membalas pandangan itu. Mereka saling tatap untuk beberapa saat.
“Boleh aku masuk?” ucap Kirana, tanpa basa-basi.
Wiratama diam. Lalu beberapa saat kemudian, ia mulai menggeser tubuhnya dan membukakan pintu lebih lebar.
Kirana masuk. Suasana kamar itu pengap karena atmosfer kemurungan menggantung di udara. Tidak ada cahaya matahari yang masuk. Gorden ditutup, di atas meja terdapat tiga gelas bekas kopi, ada mangkuk sisa mie instan tergeletak di lantai. Kirana hampir saja menyeletuk, ‘kamu itu tinggal di rumah sendiri, bukan di kos-kosan.’ Untungnya ia berhasil menahan kalimat itu.
Sejenak Kirana membersihkan kursi di depan meja yang berdebu, lalu ia menduduki kursi itu. Wiratama duduk di kasur sambil menggaruk-garuk rambutnya, tidak pernah menduga Kirana bisa masuk ke kamarnya.
“Kapan terakhir chat aku?” pertanyaan pertama yang terucap dari Kirana, tapi tak kunjung terjawab dari Wiratama. Kirana sebenarnya sudah tahu, terakhir kali ia chat hampir sebulan yang lalu, bahkan pesannya dua minggu lalu tak dibalas.
“Kamu udah nggak sayang sama dirimu sendiri, Tam?” Pada kondisi seperti ini, Kirana mengajukan pertanyaan yang begitu tepat. Ia tidak menanyakan apakah masih sayang pada Kirana. Karena ia tahu, tujuannya datang ke sana untuk memulihkan kondisi Wiratama—itu yang lebih urgent. Bukan semata-mata untuk menanyakan bagaimana hubungannya.
“Ngomong dong, Tam!”
“Aku juga nggak tahu harus ngomong apa.”
“Kamu bisa mulai dari ‘maaf’ atau apapun.”
Wiratama menunduk. Ia tidak mengatakan apa-apa setelah itu. Diam lagi, hening panjang, hanya suara AC yang mendengung.
“I know,” ucap Kirana akhirnya disertai dengan helaan nafas. “Tapi kamu nggak bisa kayak gini terus, Tam. Ibumu sampai minta tolong ke aku. Apa kamu nggak kasihan sama ibumu? Sama adik-adikmu? Sama—ayahmu?”
Ruangan kembali hening. Wiratama memejamkan mata, menarik napas yang terasa berat. Lalu perlahan membuka matanya, menatap lantai, bola hitam di kedua matanya bergerak-gerak seperti sedang membaca pesan rahasia dari ubin yang dingin.
Tapi tidak ada jawaban, Kirana cukup sabar menunggunya membuka mulut yang terkantup hanya untuk mengucapkan beberapa kata saja.
“Harusnya kemarin kita wisuda bareng-bareng, Tam. Aku nggak tahu deh, kenapa kamu tega merusak apa yang sudah kamu miliki, hanya gara-gara kehilangan satu orang saja?”
“Satu orang itu sangat berarti bagiku, Kirana!” Akhirnya Wiratama menjawab, setelah sebelumnya hanya diam. “Kenapa aku kayak gini? Terus kenapa ayah pergi?”
Kirana menyibak poninya yang menutupi sebagian dahinya, “Kalau itu jangan tanyakan aku, Tam. Aku nggak tahu.” Kirana mengalihkan pandangannya ke tumpukan buku yang terbengkalai di pojok meja.
Buku-buku itu seperti bangkai yang membusuk, penuh debu. Sejenak jemarinya mengusap-usap permukaan sampulnya. Mungkin itu jurnal atau buku referensi untuk skripsinya. Entahlah. Bahkan penulisnya saja sudah kehilangan ketertarikan untuk menyelesaikannya.
Lagi-lagi hening. Percakapan mereka kembali diambil alih dengan suara AC yang menderu. Bau ruangan itu kian menusuk, paduan aroma lembab dari pakaian kotor, sisa makanan, dan napas yang enggan diatur.
“Kamu pikir, waktu bisa berhenti menunggu, hanya gara-gara kamu kehilangan seseorang?” ucap Kirana pelan, nyaris seperti gumaman.
Wiratama masih duduk di tepi ranjang, tubuhnya setengah terlipat, kedua tangannya menggenggam lutut. Sepertinya tidak ada tanda-tanda ia ingin menanggapi, tapi sorot matanya sedikit berubah.