Memang waktu tidak mau berhenti, tidak peduli sehancur apa Wiratama setelah kehilangan ayahnya. Jika ia masih terlarut dalam kedukaannya, jelas ia akan jauh tertinggal. Bisa dilihat sekarang, Kirana sudah lulus kuliah. Sedangkan Wiratama... masih berkutat dengan mata kuliah spesialisnya, dan sibuk mengerjakan skripsinya.
Sementara itu, Rahayu mengambil alih tugas Darto sebagai kepala keluarga. Pendapatan dari usaha katering di rumahnya, kini tidak semata-mata sebagai penghasilan tambahan, melainkan sumber utama biaya hidup keluarga. Untung saja tabungan peninggalan Darto masih mencukupi.
Dan pagi itu, matahari mulai menyelusup dari celah jendela kamar untuk pertama kalinya. Gorden berwarna biru yang biasanya dibiarkan menjuntai, kini tersikap setengah, membiarkan cahaya masuk dan menyapu debu-debu yang mengambang di udara. Kamar Wiratama sudah tidak lagi seperti kapal mangkrak di pesisir, tampak lebih punya nyawa.
Ia bangun. Benar-benar bangun. Tidak seperti sebelumnya yang hanya sekadar membuka mata lalu kembali menarik selimut lebih tinggi. Lihatlah! Kini ia sudah duduk, membiarkan punggungnya menempel pada dinding, menarik napas pelan, lalu mengembuskannya, menunggu nyawanya kembali.
Sebuah pesan dari Kirana malam sebelumnya cukup berhasil mendorongnya, “Besok pagi, bangun, mandi. Jangan lupa buka gorden!” Tulisan pesan yang bisa dikenali suaranya, terdengar tegas. Seseorang yang mencintai dengan serius tahu kapan harus menjadi kekasih yang menyayangi, dan kapan waktunya menjadi cambuk. Rupanya, cambuk kali ini berhasil menggerakkan Wiratama.
Dengan langkah lamban, ia menuju jendela, membuka gorden lebih lebar. Sinar keemasan menerpa wajahnya, menyilaukan, membangkitkan. Inikah yang selama ini ia hindari? Ia menarik napas panjang, membuka jendela kamarnya. Ini pagi yang baru, kan? Wiratama mengembuskan napasnya.
Lagu Hindia-Evaluasi diputarnya melalui laptop, ritme musiknya memenuhi udara ruangan kamar. Kemudian kamar mandi menjadi tujuan berikutnya. Mencuci muka, menggosok gigi dengan durasi yang pantas disebut ritual kebersihan. Saat pancuran menyiram tubuhnya, ia memejamkan mata. Air mengalir dari kepala ke kaki, seolah membawa sisa-sisa kesedihan yang melekat di kulitnya.
Namun, tidak semua bisa hilang begitu saja. Pahamilah, duka itu tidak larut hanya karena sabun dan air dingin. Tapi, bukankah setiap pemulihan dimulai dari tindakan sekecil ini? Seseorang yang menyadarkan memang dibutuhkan di kondisi seperti ini, untuk memberitahunya bahwa masih banyak yang menantinya.
Satu jam kemudian, Wiratama sudah duduk di depan laptop. Meja yang dirapikan Kirana, kini tampak sedikit lebih bersahabat. Buku referensi tertata, aroma kayu manis dari pengharum ruangan masih samar tercium. File skripsi dibuka, dan Bab 4 yang masih tertulis 3 paragraf menanti.
Kursor berkedip di layar, Wiratama menatap halaman kosong cukup lama. Tangannya diam di atas keyboard. Apakah ia masih mampu menulis? Ah, sulit ternyata. Sudah berapa menit berlalu, tak satu pun huruf tertulis.
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir. Kemudian duduk lagi, menarik napas, mengusap wajah, lalu mengetik satu kalimat, ‘Ketika media memilih untuk menyebut masyarakat sebagai ...’ ia menghapusnya. Lalu menuliskan lagi, ‘Media yang berpihak pada kepentingan industri cenderung menyoroti ...’ Hapus lagi. Begitu terus sampai 30 menit berlalu.
Tapi Wiratama tidak menutup laptop. Ia masih tetap di sana, duduk, dan terus mencoba. Diremas-remasnya kepala, jemarinya memijit bagian samping rambut ikalnya yang masih belum dicukur, seolah-olah dengan caranya begitu bisa melancarkan sumbatan-sumbatan di kepalanya. Tapi bukankah semua orang selalu begitu? Mengira tekanan jari di kepala bisa membongkar ketidakmampuan berpikir, padahal masalah utamanya berada di dalam hati, yang belum pulih sepenuhnya.
Siangnya, gunting logam beradu dengan jari-jari tukang cukur yang telah berpengalaman menangani rambut-rambut kepala manusia. Di depan cermin besar, duduklah Wiratama dengan kain hitam menutupi tubuhnya.
“Habisi bagian samping dan belakangnya aja, Mas. Sisakan yang tengahnya—“
“Sedikit rapikan di bagian tengah, Mas.” Kirana menyahut, setelah sebelumnya Wiratama menjelaskan ingin dipangkas seperti apa. Namun, setelah Kirana menyahut ucapannya, Wiratama hanya mengangguk, dan tidak banyak bicara lagi.
Kemudian, rambut ikalnya yang liar mulai berjatuhan, helai demi helai seperti simbol-simbol keengganan yang akhirnya direlakan. Wiratama menatap wajahnya di cermin. Dagu yang mulai bersih, tantapan yang entah sejak kapan mulai tidak terlalu buram. Tapi tetap saja, siapa yang bisa menjamin bahwa cermin selalu menunjukkan kebenaran?
Di sofa panjang, Kirana duduk menunggu dengan sabar. Sesekali memainkan ponsel, sesekali mengamati proses pemangkasan rambut lelakinya, seperti menyaksikan upacara simbolis, bahwa anak laki-laki itu sudah mencoba menemukan dirinya kembali.