Lelaki dewasa seperti Wiratama, sangat butuh ditemani untuk bisa tumbuh lebih baik. Itu bukan semata-mata pembenaran atas segala kemalasannya ketika ia sedang mengurung diri setelah kepergian ayahnya, bukan pula alasan untuk terus menyandarkan harapan pada orang lain.
Tapi, bukankah pada dasarnya manusia memang makhluk bumi yang saling membutuhkan? Siapa yang benar-benar bisa tumbuh sendirian, menyelesaikan masalahnya sendiri, di tengah dunia yang semakin berdebu ini? Tidak banyak memang, bagaimana pun itu kehadiran seseorang memang sangat dibutuhkan.
Dunia tidak akan menunggunya sembuh. Dan, kalaupun ada yang bersedia menunggu, dia pasti juga punya batas kesabaran. Bukankah begitu? Tentu saja, waktu tidak pernah berhenti berdetak hanya untuk memberi jeda pada mereka yang masih berada dalam kemurungan.
Sudah hampir dua minggu sejak Kirana menemaninya mengerjakan skripsi di kedai kopi. Kini, setiap pagi, setelah mengantar adik-adiknya, Wiratama langsung membuka laptop dan duduk di meja makan yang beralih fungsi menjadi meja kerja. Lampu menggantung di atasnya seolah menyaksikan perjuangan seorang anak sulung yang sedang mengejar ketinggalan.
Kopi tubruk tanpa gula kembali menjadi teman setia di sisi kanan laptop. Kirana tahu persis, bahwa Wiratama sedang dalam masa pengejaran, sengaja mengurangi ajakan bertemu, yang biasanya seminggu sekali bertemu, atau bahkan hampir setiap hari mampir ke rumah, kini mereka bertemu hanya dua minggu sekali.
Tapi meskipun begitu, ia tetap hadir melalui video call larut malam, voice note pukul satu dini hari, bahkan sticker chat bertuliskan “You got this!” atau “Don't give up!” yang selalu dikirim Kirana tiap kali Wiratama mengeluh soal kebuntuan otaknya.
Kadang, ketika malam terlalu hening dan kafein mulai kehilangan efeknya, Wiratama hanya duduk menatap layar. Di luar jendela, suara jangkrik bersahutan. Di dalam, hanya suara AC yang menderu. Laptopnya sudah menyimpan lebih dari 75 halaman, tapi revisi selalu menyusul. Kadang, satu halaman yang dikerjakan semalam bisa lenyap hanya dengan satu komentar Guntur seorang dosen pembimbingnya.
“Aku buntu sekali... Kayak jalan di lorong gelap yang nggak tahu mana ujungnya,” katanya suatu malam, ketika video call dengan Kirana.
“Berarti kamu nggak lagi berhenti,” jawab Kirana cepat, “kamu masih tetap melangkah kan, Sayang?”
Wiratama diam sebentar, menatap layar ponselnya. “Sumpah, kamu jarang banget begitu, tiba-tiba manggil sayang, itu rasanya kayak—“
“Nggak mau dipanggil sayang?” sahut Kirana cepat sambil tersenyum menggoda.
Wiratama masih terdiam, bibirnya sedikit melengkung ke atas membentuk senyuman tipis. Ada sedikit ledakan kebahagian yang terasa aneh, tapi bagi Wiratama itu sungguh menyenangkan. Ucapan itu seperti sebuah hadiah kejutan, sesuatu yang begitu langka dari Kirana, yang membuatnya sadar betapa cintanya dia pada Wiratama.
Ada jeda sejenak kemudian. Terdengar musik dengan volume pelan dari laptopnya yang mengalunkan lagu Énouement dari Sunwich. Wiratama memandang kursor yang berkedip, seolah mengejek, lalu mengetik pelan pada paragraf awal Bab Simpulan dan Saran
Jemarinya berhenti lagi, tangannya menggenggam gelas, pahitnya kopi robusta terasa lebih pekat di jam-jam genting seperti ini. Gelas kaca transparan itu tidak lagi hangat, namun ia tetap menyesapnya, seperti mencoba menelan kegelisahan yang tak bisa ia ungkapkan.
Luar jendela kamar langit malam sudah sangat pekat, hanya ada beberapa titik bintang yang menghiasi. Lampu-lampu jalan di kejauhan menyala, tak pernah lelah menyinari jalan walau sudah tidak ada lagi yang melintas. Baru tersadarkan, bahwa semua orang di rumah itu sudah tidur, kecuali dia.
Pagi itu, Rahayu muncul dari dapur membawa sepiring nasi goreng dan telur mata sapi. “Sarapan dulu, Wira,” katanya lembut.
Wiratama hanya mengangguk, membiarkan ibunya meletakkan piring di samping laptop. Rahayu menatap anak sulungnya sebentar. Sorot matanya sudah tidak lagi khawatir, kini lebih ke rasa kagum. Sudah lama ia tidak melihat anaknya sesibuk ini.