Bagaimana caranya bertahan pada seseorang yang tak yakin pada dirinya sendiri, yang selalu menanyakan apakah ia pantas dicintai? Lantas, apakah mencintai juga bersedia duduk di bangku penantian yang tidak ada jadwal keberangkatannya? Begitulah yang selalu dipikirkan Kirana.
Namun lagi-lagi, untuk yang kesekian kalinya, Kirana berhasil menyeret lelakinya keluar dari pikirannya yang terlalu bising, rumit, dan penuh pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan.
Tepat pada Sabtu siang itu, sang mentari muncul setengah hati di atas langit kota. Memang tidak benar-benar cerah, tapi cukup bisa memberi penerangan untuk menggantikan mendung yang menggantung sejak pagi.
Wiratama terbangun dengan tubuh yang rasanya seperti baru saja dibebaskan dari rantai panjang. Masih ada perasaan campur aduk yang bikin sesak dadanya. Ia tidak langsung beranjak dari kasur, matanya menatap langit-langit kamar yang polos, pikirannya melayang ke sore nanti.
Agenda nanti sore harusnya bisa membuatnya bersemangat. Tapi perasaan senang itu bertubrukan dengan gelisah yang benar-benar tidak bisa dilupakan. Masih belum ada kabar dari prodi soal jadwal sidangnya. Ini sudah dua minggu sejak pengajuan, dan setiap hari hanya menunggu notifikasi di email. Seolah-olah semesta sengaja membuatnya menggantung lebih lama.
“Mungkin masih dirembukan dosen. Senin, kabar itu pasti tiba,” gumamnya, mencoba menghibur diri.
Ia bangkit dari kasur, berjalan ke kamar mandi. Di pantulan cermin kamar mandi, ia melihat wajahnya yang sedikit lebih segar dari beberapa hari yang lalu. Tapi benarkah ia sudah benar-benar lebih baik? Atau ia sudah lebih pandai menyembunyikan kegelisahan itu? Pertanyaan bertambah satu di benaknya, dan lagi-lagi ia tidak bisa menjawab.
Setelah mandi dan mengenakan kaus hitam polos, ia menuju ke dapur. Aroma sisa masakan siang tadi, perpaduan wangi rempah dan sedikit bau gosong masih menggantung di udara. Dapur yang biasanya riuh oleh dentingan wajan dan letupan minyak panas di jam-jam menjelang siang, kini jauh lebih tenang. Hanya terdengar gemericik air dari keran di wastafel, tempat Tutik dan Endang sedang sibuk mencuci tumpukan alat masak.
Rahayu duduk di salah satu bangku tinggi di balik meja stainless steel. Di depannya, Rinanti asyik memilin rambutnya sambil menggeser-geser layar ponselnya. Kopi hitam sudah mengepul di cangkir ibunya. Wiratama mengarahkan pandangannya ke jam dinding, jarum jam menunjukkan angka 2, ia segera tahu mereka sedang istirahat.
“Tumben udah rapi begini, mau ke mana?” sapa Rahayu, senyum tipis terukir di wajahnya ketika melihat kemunculan anak lelakinya di dapur.
Wiratama hanya tersenyum tipis, langkahnya langsung menuju rak cangkir, “Mau bikin kopi.”
“Bohong! Mau nonton konser dia, Buk,” sambar Rinanti tiba-tiba yang langsung meletakkan ponselnya ke meja.
“Ohh.. Sama Kirana ya?”
Wiratama terdiam, tangannya yang baru saja mengangkat toples kopi seketika mengambang. Punggungnya agak menegang, tertangkap basah. Sebuah semburat merah tipis muncul di pipinya, Wiratama segera menyembunyikannya dengan menunduk, walau ia bisa merasakan tatapan menggoda dari Rinanti dan senyum geli Rahayu.
“Iya, Buk,” jawab Wiratama akhirnya, suaranya sedikit lebih pelan. Ia segera memfokuskan diri ke mesin kopi pemberian ayahnya, seluruh perhatiannya tumpah pada sendok dan bubuk kopi, demi menghindari tatapan dan candaan lebih lanjut.
Tutik dan Endang sesekali melirik dan tersenyum, sudah terbiasa dengan tingkah laku si sulungnya Rahayu. Aroma robusta mulai menguar, bercampur dengan sisa wangi masakan. Dan di tengah itu, tiba-tiba Rinanti ingat sesuatu, lantas ia bangkit dari duduknya, mendekati Wiratama yang sibuk menekan tombol mesin kopi, sambil mengatakan, “Kak, aku lihat story-nya Kak Kirana. Dia habis nge-pap tiket konser, terus captionnya—Waktunya bersenang-senang.”
“Iya, aku udah lihat.”
“Ciiieee...”
“Jangan berisik!”
Rinanti tertawa renyah, puas melihat reaksi Wiratama, kemudian ia kembali duduk ke tempat semula. Rahayu hanya menggelengkan kepala, senyumannya tak hilang dari bibir, menyaksikan tingkah lucu kedua anaknya itu. Wiratama di sisi lain, pura-pura tidak mendengar celotehan Rinanti yang sesekali ditanggapi Tutik dan Endang, matanya fokus pada tetesan cairan hitam pekat yang mulai memenuhi cangkirnya, meski ia tahu telinganya memerah.
***
Menjelang pukul empat sore, ia sudah berada di mobil, perjalanan menjemput Kirana. Jalanan kota sore itu lumayan padat, asap tipis mengepul dari knalpot kendaraan yang melaju pelan, tertahan kemacetan.
Di dalam mobil, Wiratama memutar playlist Lomba Sihir – Jalan Tikus, volumenya cukup untuk menemani lamunannya. Di dashboard, parfum mobil aroma kopi memenuhi ruangan kabin. Aneh, pikirnya, betapa waktu bisa terasa sangat panjang di tengah kemacetan, padahal beberapa menit lalu dia masih duduk di meja kamarnya sambil menyeruput kopi.