Wiratama

Setia S Putra
Chapter #13

Chapter #13 Mungkin Ini Waktunya

Semoga hari ini ada kabar baik, semoga pertemuan hari ini adalah peluang. Itulah harapan yang dirapalkan Wiratama untuk memulai hidupnya di Senin pagi. Ia sudah benar-benar jenuh menunggu kabar skripsi. Kalaupun ia harus mengulang skripsisnya tidak apa. Yang penting, pertemuan sore nanti bisa jadi peluang untuknya.

Sore itu, langit terasa terik dan gerah. Udara panas dan lengket, bahkan semilir angin pun terasa hampa. Sebuah coffe shop di bilangan utara kota—tempat yang tidak terlalu bising. Wiratama tiba sepuluh menit lebih awal dari yang sudah dijanjikan.

Ia memilih kursi di pojok ruangan, dekat rak buku yang berisi majalah edisi lawas, dan beberapa novel dari penulis lokal, yang nyaris tak pernah tersentuh oleh pengunjung. Jendela kaca besar di sampingnya memperlihatkan langit yang mulai bergradasi jingga tua, dengan lampu-lampu kendaraan perlahan menyala seperti gugusan kunang-kunang kota.

Pandangan Wiratama berpedar ke sekeliling. Coffe shop ini tidak terlalu ramai, tapi cukup bisa untuk seseorang yang hanya duduk dan merenung. Suara dentingan cangkir beradu dengan piring kecil, tawa canda barista dengan seorang kasir, dan percakapan pengunjung dengan nada rendah yang bercampur dengan alunan musik Fourtwnty dari pengeras suara di pojok plafon.

Wiratama cukup diam di bangku sana untuk berpikir, rasa cemas tiap hari merenggut ketenangannya. Tangannya menggenggam gelas kaca berisi cold brew lychee. Jemarinya mengetuk-ngetuk isi gelas, menyalurkan gugup yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu, pertemuan ini bukan hanya tentang ‘ngopi’ atau sekadar basa-basi. Tapi pertemuan ini tentang rencana besar, dan apakah ia benar-benar siap?

Lima belas menit kemudian, pintu kaca terbuka dengan bunyi derit pelan. Sosok Arka masuk sambil berbicara melalui earpiece-nya, ia mengenakan kemeja krem dengan lengan tergulung dan celana chino gelap. Satu tangan menggenggam ponsel, satunya lagi membawa tote bag. Masih dengan langkah tergesa, seolah waktu adalah musuh utama, sehingga ia tak sudi jika langkahnya kalah cepat dari putaran waktu.

“Tam!” seru Arka setelah melihat ke arah sudut ruangan. Ia langsung berjalan cepat menghampiri, senyum lebar mengembang.

“Wah, akhirnya!” Wiratama bangkit dari duduknya, mereka berpelukan sebentar, lalu sama-sama tertawa.

“Sorry ya, baru bisa datang. Tadi sempat ada meeting di kantor,” ujar Arka sambil duduk, melepaskan tasnya dan menaruh ponselnya di meja. “Kamu datang awal banget ya? Gila.”

“Ya, hampir setengah jam lah,” jawab Wiratama. “Tapi nggak papa. Aku juga butuh waktu sendiri barusan, buat mikir—”

“Mikirin apa?” Arka mengangkat alis, “Sidang skripsi? Eh, gimana udah keluar belum?”

Wiratama menggelengkan kepala, sambil menghela napas, “Masih belum ada kabar dari prodi.”

“... Masih ngambang ya? Tapi yaudahlah... semoga segera keluar jadwalnya. Tapi, kamu nggak perlu nunggu wisuda kok.” Arka menyandarkan punggung ke kursi, lalu menatap Wiratama lebih serius. “Kalau kamu mau, tinggal kirim CV, terus kamu bisa langsung join.”

Hening sejenak.

Kalimat itu datang tiba-tiba. Tidak meledak, tapi cukup bisa mengguncangnya. Wiratama sempat mengerjap. “... Maksudnya, bisa langsung join kerjaanmu?”

Arka mengangguk mantap, “Iya.. Di kantorku. Di EO. Posisi visual designer, atau kalau kamu mau, bisa juga bantu di divisi kreatif. Kita lagi butuh orang yang bisa ngolah konsep, ngerti visual, seperti dinamika audiens. Aku tau kamu bisa. Dulu waktu di kampus aja, desainmu rapi dan nggak klise. Aku suka sama style kamu.”

Wiratama terdiam. Tidak langsung menjawab. Pikirannya sibuk menelusuri ribuan file di dalam otaknya, mencari satu folder kecil bernama ‘Percaya Diri’. Tapi, seperti biasa, folder itu sering kali terkunci.

“Aku tahu ini dadakan,” lanjut Arka, mengangkat tangan, mencoba meredam kemungkinan penolakan. “Tapi situasi kita juga begitu. Banyak proyek mendadak, deadline mepet, kadang tim kurang. Aku lebih percaya rekrut dari orang yang udah aku kenal kapasitasnya, daripada ngasih slot ke orang random dari LinkedIn yang cuma jago gimmick. Kita tidak butuh orang yang kerja itu cuma butuh uang, tapi juga mampu mengasah skil-nya.”

“Jobdesc-nya apa aja?” tanya Wiratama akhirnya.

“Aku suka! Kamu tidak langsung menanyakan gaji—”

“Gaji berpa pun nggak masalah bagiku, yang penting cukup!” sahut Wiratama kemudian.

Arka terkekeh, kepalanya menggeleng pelan, sangat takjub dibuatnya. Sepasang matanya menatap Wiratama dengan sinar persetujuan yang kentara, sebelum akhirnya mengulum senyum lebar. “Oke... Untuk awal, kamu bantu desain kebutuhan promosi. Poster event, layout sosial media, presentasi untuk klien, kadang bikin visual untuk video dokumentasi juga. Tapi kalau kamu suka, kita bisa kasih ruang buat explore konsep. Nggak harus langsung prefect, yang penting kamu mau adaptasi dan belajar cepat.”

“Jam kerjanya?”

“Flexible hybrid. Biasanya seminggu tiga hari ke kantor, sisanya bisa remote. Tapi pas event, kita butuh full team. Di luar itu, ya... kerja kreatif kan emang kadang, jamnya rada absurd.”

Lagi-lagi Wiratama diam. Ia mengangguk pelan, sesekali memainkan sedotan stainless di gelasnya. Arka memperhatikan ekspresi temannya. Ia paham benar, Wiratama bukan tipe yang bisa langsung menerima begitu saja. Ia adalah pemikir. Sayangnya, seorang pemikir justru sering kali tenggelam ke pikirannya sendiri.

Lihat selengkapnya