Wiratama

Setia S Putra
Chapter #14

Chapter #14 Minimal Nggak Tipes

Sudah setahun berlalu sejak hari itu—hari saat ia berdiri gemetar di depan ruang sidang, dengan naskah skripsi yang berkeringat dingin di tangan. Kini, pagi demi pagi sudah tidak lagi ia habiskan dengan menatap layar dengan rasa cemas yang mengendap seperti kafein semalam.

Hidupnya sudah tak terpaku pada jarum jam yang berdetak dengan ancaman, atau notifikasi email dari prodi yang selalu ia tunggu dengan harap-harap cemas. Rutinitasnya lebih cair, mengalir, mengikuti denyut waktu yang tak pernah benar-benar diam.

Wiratama duduk di depan meja kerjanya. Matahari pagi menembus tirai abu-abu, jatuh di atas laptop yang menyala dengan tampilan software desain. Selembar moodboard tertempel di dinding, penuh coretan, potret-potret konser, dan beberapa stiker band tertempel di sana. Samping mejanya dipenuhi tumpukan mockup, kertas print draft visual, dan tumbler kopi susu gula aren yang esnya sudah mencair.

Tangannya bermain di atas mouse dengan irama yang mantap, penuh konsentrasi. Telinganya disumpal earphone kecil. Senyum tipis sesekali mengembang dari bibirnya—damai rasanya, karena ia tahu saat ini posisinya sangat tepat. Ia bahkan bisa dibilang sudah mapan. 

Namun, apakah ini yang dinamakan kestabilan hidupnya? Bekerja di bidang yang disukainya, memiliki gaji yang cukup, ditambah bonusnya setiap ada event, membuat penghasilan bulanannya melebihi dari cukup.

Ekonomi keluarga Wiratama juga baik-baik saja, bisnis katering ibunya berkembang pesat. Bahkan, Rahayu sudah mengontrak sebuah rumah khusus untuk usaha kateringnya. Saat ini, karyawannya sudah bertambah hingga sepuluh orang, termasuk karyawan-karyawan lama seperti Tutik dan Endang.

Karena itulah, keuangan Wiratama sangat mencukupi, apalagi Rahayu tidak pernah sekalipun membebani keuangannya. Lantas, kehidupan seperti itu apakah sekadar momen singkat sebelum badai berikutnya datang? Entahlah. Tapi hari ini, ia benar-benar menikmatinya.

Setiap pagi biasanya, fokus Wiratama di layar laptop terganggu oleh ketukan pintu dan panggilan ibunya. “Wira... Hari ini ke kantor atau kerja di rumah?”

“Ke kantor, Buk. Tapi agak siangan berangkatnya,” jawabnya tanpa menoleh. Tangannya tetap sibuk menyesuaikan layer demi layer pada visual panggung yang tengah ia rancang.

Satu tahun bekerja di EO Vibranifest, cukup membentuknya menjadi pribadi yang tajam, dan kadang juga lebih lentur. Kantor itu bukan tempat formal dengan aturan kerja 7 jam. Tidak ada absensi fingerprint, tidak ada jam istirahat.  

Yang ada hanya kalender event, meeting yang kadang molor, kadang juga dadakan, dan tumpukkan ide-ide liar yang saling bertabrakan di ruang brainstrom di lantai dua. Namun meskipun begitu, tempat itu seperti rumah kedua. Atau barangkali ruang antara rumah dan mimpi.

Di kantor itu, Arka sudah tidak lagi sebagai senior kampus atau sang pemberi tawaran kerja dadakan di coffee shop waktu itu. Kini, ia jadi seorang mentor yang cermat bagi Wiratama. Seringkali ia melontarkan kritik tajam pada hasil kerjaan Wiratama.

“Tam, visualmu keren. Tapi jangan lupa, relevansi! Karena keren itu nggak cukup.” Begitu katanya, biasanya sambil menepuk bahu Wiratama. Kalimat semacam itu sudah sering kali diucapkan Arka setiap kali ia bertemu Wiratama di pantry sambil menyeduh kopi. Bagi Wiratama hal itu adalah tantangan untuknya terus belajar.

Dan hari ini, kantor Vibranifest sedang dalam mode high alert. Sebuah proyek besar sedang berjalan—konser tur Efek Rumah Kaca. Konser ini bukan konser biasa—ini proyek prestisius! Juga proyek besar pertama bagi Wiratama setelah setahun bekerja. Sebagai promotor utama yang mengorkestrasi seluruh rangkaian konser di berbagai kota, Vibranifest akan memastikan setiap detail, dari panggung hingga visual di setiap venue. Ini artinya, tim inti juga akan ikut berkeliling.  

“Oke, guys. Untuk konser ERK, durasi kita maksimal satu setengah jam, setidaknya ada 15 setlist yang dibawakan.” Begitu yang dikatakan Baba Jek, seorang Event Manager yang bernama asli Zaki. ‘Baba’ dituturkan pertama kali oleh anaknya, sebagai panggilan seorang ayah dalam bahasa bayi, lalu diteruskan oleh anak-anak buahnya dengan panggilan ‘Baba Zack’. Namun, karena lidah mereka tidak cukup mampu mengucap kata ‘Zack’ akhirnya berevolusi menjadi ‘Baba Jek’ sebagai panggilan akrab.  

Udara di dalam ruangan terasa tipis saat itu, bercampur aroma kopi. Beberapa orang terlihat menunduk, jari-jemari mereka menari di atas keyboard, sementara yang lain sesekali melirik jam di dinding, seolah waktu adalah bom yang terus berdetak. Layar proyektor di depan menampilkan daftar panjang setlist lagu. Setiap orang di sana, dari tim produksi hingga tim visual, tampak memegang napas, siap menerima instruksi terakhir, menimbang setiap kata Baba Jek yang baru saja memecah keheningan.

Mengingat tentang Efek Rumah Kaca dan lagu-lagunya, ini bukankah perkara estetika semata. Menerjemahkan pesan-pesan dari lagu-lagunya ke dalam bentuk visual bukanlah pekerjaan yang enteng tentunya bagi Wiratama. Tapi justru karena itu, hati kecil Wiratama tahu proyek ini sangat penting untuk karirnya, dan mungkin untuk jiwanya sendiri.

Siang itu, Wiratama baru saja menyelesaikan satu versi draft visual panggung, kemudian ia memencet shortcut untuk render preview, seraya menyandarkan punggung ke kursi dan menatap layar. Tak lama kemudian layar menampilkan simulasi visual—gradasi biru ke ungu, siluet tubuh melayang, dan partikel cahaya yang bergerak lambat seperti serpihan hujan di bawah sorot lampu.

Lihat selengkapnya