Wiratama

Setia S Putra
Chapter #15

Chapter #15 Cermin Utuh

Panggung utama memang tampak kosong dari depan, tapi di balik kain hitam yang menjulang tinggi, sebuah kehidupan berdenyut dengan ritme yang jauh lebih cepat. Suara-suara langkah terburu beradu dengan denting besi, bunyi klik dari pengait rigging, serta pekikan instruksi. Kabel-kabel berseliweran di lantai seperti urat-urat nadi makhluk raksasa yang sedang dipersiapkan untuk hidup. 

Wiratama berdiri di sisi kiri belakang panggung, tubuhnya membungkuk di depan monitor. Dengan fokus utuh, tangannya sibuk menggeser garis waktu, mengatur transisi, dan mengecek sinkronisasi antara visual dan sekuens lampu, sesekali alisnya mengernyit. 

“Gimana, Tam?” suara Arka muncul dari arah samping. 

Wiratama menoleh cepat, “Transisi masuk lagu keempat masih delay 0,3 detik. Kalau lighting nggak dikunci sekarang, visualnya bisa tabrakan.” 

Arka melirik jam tangan, “Kita tinggal sepuluh menit.”

“Lagu pertama udah pasti visual statis, tapi pas masuk lagu kedua dan ketiga, LED kiri-kanan harus nyala barengan. Kalau sampai meleset—“

“Chaos?” Potong Arka. Ia mengangguk cepat, lalu menepuk bahu Wiratama. “Tenang, udah kita test tiga kali. Kita bukan pemula, santai aja.” 

Setidaknya, mereka sudah pernah menangani puluhan event. Tapi di balik layar, tetap ada detak jantung yang menolak tenang. Apalagi malam ini—Efek Rumah Kaca. Band legendaris. Kota ketiga dari tur nasional mereka. Semua mata di depan panggung itu sudah menunggu penampilan mereka. 

Wiratama menarik napas panjang, punggungnya sudah mulai pegal karena berdiri sejak sore. Tapi ia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk mengeluh. Matanya menyapu layar sekali lagi. Sebuah bar sudah rapi. Layer untuk Sebelah Mata, Mosi Tidak Percaya, Desember, dan Putih sudah pada tempatnya. Tapi ada satu yang selalu ia cek lebih dari dua kali—‘Melankolia’

Bukan hanya tentang lagu ke-11 dari 15 setlist yang dibawakan Efek Rumah Kaca. Bagi Wiratama, itu adalah lagu yang seperti memiliki ikatan personal dengannya. Lagu yang visualnya ia garap sendiri. Tidak pakai template atau stok animasi. Ia gambar sendiri dari malam ke malam, di jam-jam rawan, dan obrolan video call dengan Kirana. Setiap partikel cahaya dalam video itu, ia bentuk sendiri dari sebuah ingatan. 

“All crew standby ya. Lima menit lagi!” suara Baba Jek terdengar dari walkie-talkie.

Wiratama merapatkan hoodie-nya. Suhu di balik panggung tidak sedingin ruangan AC kantor Vibranifest, telapak tangannya tampak basah. Ia melirik tim lighting yang sedang menyesuaikan sorotan biru untuk intro pembuka. Lalu berjalan cepat ke sisi kanan panggung, tempat layar preview besar yang menunjukkan tampilan langsung dari LED center stage.  

Detik-detik sebelum konser dimulai selalu aneh. Sunyi, tegang—seperti menahan napas. Dari celah tipis di sisi panggung, ribuan penonton sudah memadati lapangan. Lautan manusia itu tampak sabar, mereka menanti dengan hanya diterangi oleh pantulan cahaya ponsel yang sesekali berkedip. Wiratama bisa merasakan energi mereka yang membuncah.

Ini adalah ide yang sangat bagus. Menambahkan paduan suara perempuan akan memberikan nuansa yang lebih dramatis dan puitis, sekaligus membuat opening konser terasa lebih unik dan berkesan.

“Countdown. Mulai dari sepuluh!” Baba Jek berteriak, dan semua orang langsung menghitung pelan dalam kepala masing-masing. Timer di layar mulai menurun.

Wiratama meneguk sisa minuman isotonik yang sudah hambar. Ia berdiri diam, menatap panggung yang masih gelap. Lalu, dari kegelapan, suara empat perempuan berpadu, menyanyikan bait "Tapi sebelah mataku yang lain menyadari... Gelap adalah teman setia..." Suara mereka mengalun pelan, lembut, seperti bisikan yang menggantung di udara.

Di tengah paduan suara itu, Cholil dan teman-temannya naik ke panggung, disambut sorak penonton yang pecah. Tepat saat lagu masuk ke bagian intro, lampu strobo menyala. Panggung yang gelap kini terang benderang, bersamaan dengan ketukan pertama yang menghentak. Getaran suara merambat dengan cepat, suara kick drum yang berat langsung menyebar, memenuhi seluruh speaker di setiap sudut lapangan, disambung dengan suara Cholil yang menyanyikan verse pertama lagu itu.

Wiratama menoleh cepat ke monitor, memastikan layer pertama muncul sesuai beat. Latar visual menampilkan tekstur abstrak yang perlahan bergeser dan berubah warna dari ungu gelap ke biru kelam, seperti kumpulan awan pekat yang memudar, hasil eksperimen color grading yang ia buat minggu lalu—berjalan aman.

Tiga lagu pertama sangat lancar, tanpa kendala. Ribuan orang berdiri di depan panggung sana, bernyanyi, berteriak, berangkulan. Sementara itu, Wiratama masih terus berjaga. Mata dan tangannya tidak berhenti bekerja. 

Lihat selengkapnya