Setelah euforia semalam, kota ketiga tur Efek Rumah Kaca. Wiratama terbangun dengan ritme yang jauh lebih lambat. Sang mentari menggantung malas di langit timur, kabut tipis masih melayang di sela-sela bangunan, dan jalanan belum sepenuhnya sibuk.
Pagi itu Wiratama sudah bergegas lebih dulu dari penginapan, mencari sarapan, dan kemudian mampir ke sebuah coffee shop yang tak terlalu jauh. Coffee shop yang hanya seperti kedai kecil dengan bangku kayu panjang, poster band indie di dindingnya, dan aroma cinnamon roll yang menyelinap dari dapur belakang.
Cairan hitam pekat menetes perlahan dari alat penyaring di atas gelas kaca, uap tipisnya mengepul membawa aroma robusta yang kuat. Wiratama mengamati tetesan demi tetesan itu, setiap jatuhnya seolah ikut menenangkan pusaran pikirannya. Meja di hadapannya selain gelas kopi, ada ponsel, dan kue bolu yang disajikan di tatakan kecil.
Tak banyak suara. Hanya gumaman pelan barista di balik meja kasir, suara pintu yang sesekali berderit setiap ada tamu yang datang, dan playlist lo-fi gitar akustik mengalun dari speaker di atas rak. Sebuah jeda yang begitu layak bagi Wiratama, setelah malam yang penuh dengan dentuman.
Satu gigitan untuk kue bolu, Wiratama membuka galeri di ponsel, melihat hasil rekaman konser Efek Rumah Kaca semalam, yang diam-diam ia ambil dari sisi panggung, saat sorot lampu putih menyinari tubuh Cholil yang berdiri sendiri. Kemudian memilih salah satu yang paling berkesan untuk diunggahnya di story Instagram.
Story itu langsung mendapat tanggapan cepat dari beberapa teman dan pengikutnya. Emoji tepuk tangan, api, cinta, dan ucapan selamat dari rekan-rekan kerjanya. Wiratama tersenyum kecil, menyesap kopinya, lalu merebahkan punggung ke sandaran kursi.
Tapi, seperti yang tak terduga sebelumnya, sebuah DM masuk dari akun yang tidak asing baginya, aditya_arya. Mengganggu ketenangannya. Wiratama mengerutkan dahi sebelum membuka pesan itu, mencoba mengingat. Adit, teman SMA, yang dulu satu geng waktu main futsal setiap Jumat sore. Terakhir kali mereka bertemu, mungkin jika Wiratama bisa mengingatnya sekitar delapan tahun lalu.
Wiratama membuka pesan itu, “Gilaa... Kamu sekarang kerja di konser-konser gitu ya?” Wiratama langsung membalas, “Haha, di EO sih, Dit.”
Balasan Adit datang cepat, seolah-olah ia sedang menunggu balasan itu sejak lama. “Keren lah. Gila... Proud of you, Wir. Ditekuni kerjanya, beruntung sih bisa kerja di bidang yang paling kamu sukai itu.”
Wiratama membalas dengan emoji ketawa, lalu mereka lanjut membicarakan hal-hal lain seperti kenangan masa-masa SMA mereka. Namun, selang beberapa saat, arah obrolan Adit berubah.
Sebuah pesan baru masuk, mengabarkan bahwa Adit sedang mencoba usaha kecil-kecilan, "Makanan ringan, cemilan pedas gitu. Buat pasar anak kampus, tapi masih naik-turun." Kedua alis Wiratama naik pelan.
Ia mengetik pertanyaan tentang usaha itu, hanya untuk informasi lebih lengkap soal usahanya. Barangkali Wiratama bisa bantu melarisi jualannya. Namun bukan itu balasan yang diharapkannya, justru Wiratama mendapat balasan tentang keluhan Adit.
“Aku, lagi kepepet banget nih, Wir.”
Wiratama mendadak tegak, punggungnya tak lagi bersandar. Ia menatap layar ponsel lebih lama, seolah sedang membaca kode rahasia, atau mencari motif tersembunyi di balik kata-kata Adit barusan.
“Wir, boleh pinjam duit nggak? Nggak banyak, kok. Cuma 500 ribu aja. Buat tutupin biaya packing orderan pertama. Tanggal 3 nanti langsung aku ganti—Janji.”
Wiratama menghela napas panjang, bola matanya bergerak cepat dari satu sudut layar ke sudut lain, seolah menimbang setiap huruf yang Adit ketik. Kenapa sekarang? Kenapa baru muncul setelah bertahun-tahun, dan langsung dengan permintaan?
Akan tetapi, lima ratus ribu itu bukan jumlah besar untuk Wiratama, yang dipermasalahkan bukan nominal sebenarnya. Aneh saja rasanya. Bukankah selama ini Adit tidak pernah benar-benar hadir? Bahkan saat ayah Wiratama meninggal, apakah dia mengirimkan ucapan kedukaan?
Harusnya Wiratama curiga dengan kehadiran itu. Tapi, nyatanya ia masih memegang ponselnya, mengetik, lalu menghapus, mengetik lagi, lalu menunda, mencoba menenangkan diri, mencoba objektif—mungkin dia benar-benar butuh.
Wiratama mengusap wajahnya, lalu menatap saldo di aplikasi mobile banking-nya. Saldonya itu sebenarnya bisa ia transfer ke Adit dalam dua kali klik, tanpa harus berpikir panjang.
Ia menarik napas, lalu mengetik, “Oke Dit. Kirim rekeningmu.”
Balasan langsung datang disertai nomor rekening. Setelah satu kali tarikan napas, ia menekan tombol transfer. Dan saat notifikasi sukses muncul di layar, justru ada rasa lega—Wiratama hari ini telah membantu seorang teman lama.
Ia menyesap kopi pekat hasil tetesan itu, yang kini sudah mulai dingin. Lalu menyandarkan punggung. Tak lama kemudian bibirnya mengembangkan sebuah senyuman, ketika mengetahui ada panggilan video dari Kirana muncul di layarnya.
Ia segera mengangkat ponselnya, mengusap layarnya ke atas dan langsung menampilkan wajah Kirana yang separuh wajahnya tertutup rambut, matanya masih menyipit, dan latar belakangnya menunjukkan sepotong dinding putih.
Ia berbaring bersandar bantal, mengenakan kaus abu-abu longgar dan seprainya masih kusut. Di ujung kamera, tangan kirinya mengusap mata, lalu menyisir rambut yang menjuntai ke depan.