Wiratama

Setia S Putra
Chapter #17

Chapter #17 Non-Layar

Sepekan jeda setelah empat kota tur Efek Rumah Kaca, aktivitas di kantor Vibranifest justru semakin hidup. Kantor itu tetap menjadi kapal yang terus berlayar ke pelabuhan berikutnya, tidak terpengaruh oleh jeda tur.

Dinding ruangan brainstorming masih dipenuhi sticky notes warna-warni dan kertas-kertas coretan layout panggung, yang hampir tak menyisakan ruangan putih. Selama jeda tur Efek Rumah Kaca, suasananya tak jauh berbeda, justru malah lebih bergelora.

Di depan layar 27 inci, Wiratama duduk tegak, matanya menyipit memandang detail animasi partikel cahaya yang bergerak seperti debu-debu di dalam air. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard, tangannya sesekali menarik stylus dan menggeseknya di tablet grafis.

Wiratama saat ini sedang membuat konsep visual untuk band Sundown Stereo, yang akan tampil dalam showcase pekan depan. Bukan tugas kecil tentunya, karena band itu sudah punya nama besar di kalangan penikmat musik alternatif.

“Tam, cakep sih ini. Gradasi warnanya dapet banget. Tapi... ngerti nggak, kenapa ini berasa tepat?” suara Baba Jek muncul dari balik punggungnya, nada suaranya lebih seperti seorang pelatih tinju yang sedang memompa semangat anak didiknya.

Wiratama menoleh, matanya tampak sedikit lelah. “Aku coba bayangin posisi penonton. Musik mereka banyak main di layer emosi. Jadi aku buat visualnya kayak napas bedenyut gitu, Baba. Cahaya itu nantinya akan bergerak pelan, kadang lambat, kadang intens. Biar pas ambiansnya nyatu sama lagu.”Baba Jek mengangguk, senyum kecil terbit dari wajah kerasnya. “Good. Visual yang bagus nggak cuma keren, tapi bisa bikin orang lupa kalau mereka lagi nonton konser. Mereka harus merasakan itu.”

Dan itulah yang sudah dipahami Wiratama. Bahwa, desain panggung lebih dari perihal warna-warna mencolok dan transisi halus. Tapi tentang bagaimana caranya bisa menciptakan perasaan, dan meninggalkan kesan. Bagaimana sebuah visual bisa menelan ratusan pasang mata ke dalam pengalaman kolektif yang nyaris mistis. Dan untuk itu, ia tak bisa sekadar mengandalkan skill teknis. Ia harus mendengarkan musiknya, mencium nadanya, dan menyatu dengan lagunya.

Seringkali, Wiratama berdiri diam di sisi venue, bahkan saat tidak bertugas. Ia memperhatikan bagaimana visual berinteraksi dengan pergerakan vokalis, dengan sorotan lampu, dan ekspresi penonton.

Dan, Wiratama saat itulah mulai menjadi penafsir, penerjemah emosi. Menarik benang-benang tak kasat mata dari lirik dan melodi, lalu menuangkannya dalam visual yang berbicara langsung ke sanubari penonton. Setiap desainnya kini punya nyawa, punya cerita, dan mampu mengantarkan penonton ke dimensi lain yang tak bisa dijangkau hanya dengan telinga.

“Tam,” Arka memanggil dari sisi ruang editing. Tangannya memegang print mockup panggung Sundown Stereo dan satu kertas lagi, sementara ekspresinya seperti baru saja menelan pertanyaan yang belum ada jawabannya. “Ada sedikit tantangan nih buat kamu.”

Wiratama menoleh, menaikkan alis. “Tantangan macam apa lagi nih? Jangan bilang mau bikin visual pakai pasir beneran ya,” ia berseloroh, tangannya masih sesekali mengetuk-ngetuk tablet grafisnya.

Arka terkekeh, tawa yang tak sampai ke mata. Ia kemudian melangkah mendekat. “Aku pengen dirimu handle full visual untuk segmen ‘Monolog Laut’. Band ambient, base-nya banyak pakai field recording. Suara debur, suara angin. Kita belum pernah mainin konsep kayak gini.”

“Visualnya mau dibikin naratif, atau abstrak aja?”

“Itu kamu yang milih. Tapi ini panggung kecil, budget mepet. Kita nggak bisa pasang LED center, hanya dua layar kiri-kanan dan satu proyektor depan. Aku percaya, pasti kamu bisa bikin orang tetap duduk diam selama tujuh menit untuk lagu itu.” Arka menyodorkan lembaran sketsa panggung dan catatan setlist. “Soundcheck-nya Kamis. Bisa?”

Wiratama mengangguk pelan, seraya menghela napas, kertas di tangannya ditatapnya sejenak, lalu diletakan ke atas meja. “Oke.. Aku coba konsepkan dulu malam ini.”

Arka mengangguk menepuk pundak Wiratama. Tanpa berkata apa-apa lagi, Arka berbalik, melangkah menjauh, meninggalkan Wiratama sendirian di antara tumpukan sticky notes dan layar yang menyala, dengan beban ekspektasi yang kini bertengger di pundaknya.

Malam itu di kamarnya, Wiratama memutar musik Monolog Laut. Ia memutar lagus ‘Nafas Karang’ berulang-ulang, menutup mata, membiarkan suara pasir yang terseret gelombang dan gemuruh laut menembus pikirannya.

Sembari itu ia mulai menggambar. Frame demi frame. Visul pasir berhembus, awan bergerak lambat, dna bentuk-bentuk yang menyerupai karang muncul di layar. Ia menambahkan efek blur, memberi jarak antar apa yang terlihat dan apa yang terasa.

Tangan Wiratama tak berhenti bergerak, menarik garis, mewarnai, menghapus, seolah-olah ia sedang memahat udara. Udara di kamarnya terasa dipenuhi konsentrasi. Bau arabika dan laptop dengan cahaya yang menyala, menemani sunyinya malam. Ia terus bekerja, hingga bayangan di dinding memanjang dan sang jago berseru dari kejauhan.

Siangnya, Arka dan Baba Jek memandangi preview render-nya. Ruangan kantor sunyi. Hanya ada suara AC yang mendesis, memenuhi keheningan. Mata Arka terpaku pada layar, sesekali mengangguk kecil, kerutan di dahinya perlahan mengendur. Baba Jek, dengan tangan bersedekap, menyimak setiap transisi. Wiratama bisa merasakan gelombang antisipasi dan mungkin, sedikit kejutan. Ia sendiri duduk menyandarkan punggung, napasnya tertahan, menunggu putusan.

“Ini... nggak seperti biasanya,” ucap Arka pelan.

Lihat selengkapnya