Wiratama

Setia S Putra
Chapter #18

Chapter #18 Malam Kota Kedelapan

Riuh tepuk tangan dan suara serak penonton yang kelelahan menjadi penanda bahwa semuanya berakhir. Lagu terakhir usai, lampu sorot perlahan meredup, dan panggung mulai kehilangan denyutnya.

Wiratama berdiri, tubuhnya setengah bersandar pada dinding. Kaus hitamnya basah oleh keringat, dan telapak tangannya masih memegang walkie-talkie yang sejak dua jam lalu terus menempel di telinga kirinya. Matanya tak lepas dari layar di meja FOH, memperhatikan transisi terakhir yang perlahan padam.

Kali ini, tak ada lagi suara instruksi. Tidak ada aba-aba untuk ’fade out visual´ atau ‘ganti layer LED center’ Hanya ada suara sorak tepuk tangan penonton, dan beberapa orang memanggil nama band dan sang vokalis. Mereka tampak enggan meninggalkan gedung, seolah mengharapkan satu lagu tambahan. Namun tidak ada, malam ini telah selesai.

Di pojok backstage, tiga batang rokok menyala tanpa ada yang protes. Sementara Arka duduk bersila di atas kabel-kabel panjang, wajahnya tertunduk. Keringat masih membekas di pelipisnya, dan napasnya belum sepenuhnya stabil. Ia sedang memeluk kepalanya, mungkin mencoba memahami kenyataan bahwa tur delapan kota ini benar-benar sudah berakhir.

Lalu suara langkah datang dari arah tangga. Wiratama muncul, dengan kaus hitam yang mulai mendingin, rambutnya masih basah oleh keringat, dan wajah yang tampak lelah. Ia berjalan pelan, menyeka wajahnya dengan handuk kecil di bahu.

“Akhirnya... selesai juga...” serunya, suaranya terdengar berat.

Arka mendongak, tersenyum tipis, lalu bangkit perlahan, menghampiri Wiratama. Keduanya saling menatap sejenak, seperti dua orang yang baru saja melewati medan perang. Dan seperti tak perlu banyak kata, Arka langsung merangkulnya dengan pelukan singkat.

“Gila sihh,” ucap Arka pelan. “Soal visualnya tadi... aku yakin, fanbase ERK bakal bahas itu sampai seminggu ke depan.”

Dan benar saja. Di dunia maya, pujian mulai membanjiri. Instagram dipenuhi cuplikan video-video konser Efek Rumah Kaca di kota kedelapan. Bahkan, konser di kota kelima dengan pertunjukan kain visual masih terus bermunculan di beranda. Bahkan akun fanbase Efek Rumah Kaca memposting kompilasi visual yang mereka tampilkan selama delapan kota, dan menaruh nama Vibranifest di kolom caption dengan ucapan terima kasih.

“Bentar lagi banyak yang ngajak kita collab, Tam,” ujar Baba Jek sambil menepuk bahunya dari belakang.

Wiratama tertawa kecil. Ia tak pernah menyangka, dari sekadar bertahan hidup dengan pekerjaan yang ia cintai, kini ia menjadi sorotan. Walaupun namanya memang tidak pernah tertera di media sosial, namun di balik nama besar Vibranifest, Wiratama kini dikenal dan dihormati oleh orang-orang di dalam timnya.

Satu per satu kru mulai mengemas peralatan yang lebih kecil. Ada yang menggulung kabel, ada yang memasukkan hard drive ke dalam tas. Namun, tak ada yang terburu-buru. Waktu membongkar panggung baru akan dimulai esok pagi, dan malam ini adalah milik mereka—momen untuk menikmati kelegaan, tawa, dan cerita-cerita di balik layar.

Wiratama, yang sedang duduk menyandarkan kepala di dinding, ikut menikmati momen hening itu. Hingga tiba-tiba, fokusnya teralihkan. Di antara tumpukan case dan kabel yang baru digulung, seorang perempuan melangkah masuk. Rambutnya diikat setengah, mengenakan jaket parasut tipis dan jeans gelap. Wiratama nyaris tidak percaya saat melihatnya. Ia berdiri refleks, menyeka tangannya ke celana, lalu menghampiri.

"Kamu kok sampai sini?" tanyanya, suaranya tercekat antara rasa takjub dan terkejut. Senyum kecil yang tadi sempat terbit di bibirnya seketika memudar digantikan ekspresi bingung.

Kirana mengangkat bahu. "Terus kenapa?" jawabnya santai, bibirnya tersenyum geli melihat ekspresi Wiratama.

"Kok nggak bilang sih?" nada suara Wiratama naik satu oktaf, menunjukkan kekesalannya.

Kirana malah cengar-cengir, matanya berbinar-binar penuh kenakalan. "Kan, memang disengaja." Ia berjalan lebih dekat, jarak di antara mereka kini hanya satu langkah.

Wiratama menatapnya dengan penuh selidik, kekhawatiran mulai terselip di balik nada suaranya yang lelah. "Terus kamu enggak kerja? Kamu tidur di mana semalam?"

"Khusus hari ini aku kerja remote, terus tidurnya, aku nginap di rumah saudara," Kirana menjelaskan, suaranya lembut, seolah ingin meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.

Wiratama hanya diam sejenak, membiarkan kalimat Kirana meresap. Semua letih dan beban yang ia rasakan selama ini seolah luruh oleh kehadiran Kirana secara tiba-tiba. Kemudian Wiratama memasang sebuah senyum yang jarang ditunjukkan di tengah keramaian. Ia mengulurkan tangannya, mengusap pelan rambut Kirana yang menjuntai di bahu. Matanya memancarkan rasa terima kasih. Lalu, tanpa bisa menahan diri lagi, ia menarik Kirana ke pelukannya, meremas punggungnya. Seolah semua kelelahan meleleh begitu saja. Dan Kirana, seperti biasa, membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan itu.

Lihat selengkapnya