Sang mentari belum meninggi, langkah Wiratama menaiki anak tangga dengan setengah hati. Di kepalanya masih menggantung satu pertanyaan besar—untuk apa pagi-pagi begini ia dipanggil ke ruangan Baba Jek?
Hoodie abu-abu membungkus tubuhnya, ransel tersampir di bahu kanan, dan kepala sedikit tertunduk. Matanya menyimpan sisa kekesalan, seolah enggan mengikhlaskan jam tidurnya yang dirampas oleh panggilan mendadak.
Ya, meski kejadian ini sudah lumrah, tetap saja ia merasa terganggu. Apalagi baru kemarin tubuhnya benar-benar mendapat istirahat utuh setelah pulang dari kota kedelapan tur Efek Rumah Kaca. Lelahnya belum sepenuhnya menguap, dan jeda seminggu ini, ia hanya menginginkan satu hal sederhana—tidur minimal tujuh jam sehari.
Pintu kaca ruangan Baba Jek bergemerincing ketika Wiratama mendorongnya. Aroma kopi seduhan pagi bercampur bau kayu meja menyambutnya. Babak Jek berdiri di balik meja kerjanya, punggungnya tegap. Tatapan matanya menyala, dan bibirnya membentuk senyum lebar yang jarang Wiratama lihat, kecuali saat proyek besar berhasil dieksekusi tanpa cacat.
“Tam, duduk!” serunya waktu pertama kali melihat kemunculan Wiratama di pintu.
Wiratama menaruh ransel di kursi kosong. Di atas meja, ia melihat map tebal berlogo ‘Mega Fest’ dengan cetakan tinta emas mengilap. Wiratama menarik napas pelan, apa lagi ini? pikirnya. Namun pertanyaan itu hanya mengedap di kepala, ia kemudian duduk di hadapan meja Baba Jek.
Baba Jek kemudian menduduki kurisnya, dan membuka map itu perlahan, seperti sedang mengungkap rahasia yang sudah lama ia simpan. Di dalamnya, ada beberapa lembar proposal, moodboard, dan draft rundown. Jemarinya mengetuk-ngetuk halaman pertama, di mana logo Mega Fest terpampang di lembaran itu, diikuti sederet nama-nama sponsor besar.
Sementara Wiratama masih diam memperhatikan. Ia tak bisa membaca apa pun dari ekspresi Baba Jek. Namun, di hadapannya, map tebal berlogo 'Mega Fest' dengan cetakan tinta emas mengilap itu sudah cukup membuat pikirannya bergidik. Ia menunggu penjelasan Baba Jek, tak tahu apakah ia akan menerima sebuah hadiah atau sebuah beban baru.
“Ini... tawaran kerja sama langsung dari mereka,” ucapnya, matanya menatap tajam ke arah Wiratama. “Mega Fest mau bikin konser lintas genre, kolaborasi musisi lokal dan internasional. Skalanya... nggak main-main, Tam. Venue-nya stadion utama. Lighting, sound, visual—semua level premium.”
Wiratama mengangguk pelan, matanya menelusuri foto-foto venue dan rancangan tata panggung yang diselipkan di proposal. Beberapa bahkan menampilkan referensi panggung dari festival luar negeri yang penuh cahaya, layar raksasa, dan permainan visual yang memukau.
“Mereka minta visual yang beda dari biasanya,” lanjut Baba Jek. “Dan kamu tahu? Tur ERK kemarin, namamu mulai naik di kalangan EO. Banyak yang nyebut, salah satunya visual kain di kota kelima itu sangat gila. Mereka tertarik sama pendekatan eksperimentalmu.”
Wiratama mendengar semua kalimat itu dengan dada menghangat. Sebagian dirinya ingin tersenyum lebar, ingin merayakan pengakuan ini. Tetapi ketika mendengar kalimat mereka yang tertarik dengan karyanya, sebagian dirinya merasakan beban yang membuatnya ragu. Matanya sempat melirik jendela, melihat lalu lintas yang mulai ramai di bawah.
Baba Jek mencondongkan tubuh, menggeser kursinya sedikit maju. “Jujur aja, Tam. Kamu kandidat yang sempurna untuk proyek ini. Bakatmu udah terbukti. Caramu adaptasi di tengah keterbatasan itu nggak semua orang bisa. Mega Fest mau orang yang punya visi, tapi juga fleksibel di lapangan. Dan kamu, punya dua-duanya.”
Wiratama menarik napas panjang. “Tapi, Baba—” Wiratama akhirnya bersuara. “Tim kita sekarang lagi ngerjain dua proyek lain, kan? Kalau aku pindah fokus, gimana yang ini? Kalau aku ambil ini, proyek visual untuk event pekan depan siapa yang akan megang?”
Baba Jek mendengarkan dengan sabar, senyum lebarnya memudar. Ia tahu persis apa yang ada di kepala Wiratama, sebuah loyalitas yang tinggi dan ketakutan untuk keluar dari zona nyaman. Namun, ia melihat lebih jauh dari itu.
“Aku ngerti,” ucap Baba Jek kemudian. “Tapi coba pikirkan ini, peluang besae, Tam. Proyek yang bisa masukin namamu dan Vibranifest ke radar industri skala nasional bahkan internasional. Portofolio kita bakal naik kelas. Dan kamu juga, jaringanmu bakal terbuka luas. Bukankah begitu, Tam?”
Wiratama mengusap tengkuknya, matanya kembali jatuh ke foto panggung stadion yang memancarkan sorot lampu ke ribuan penonton. “Tekanannya pasti gila, Baba.” Jemari telunjuknya menyentuh foto panggung stadion itu. “Aku belum pernah main di level sebesar itu—”
“Makanya ini tantangan, Tama,” potong Baba Jek cepat, senyumnya melebar. “Dan soal tekanan—kita hadapin bareng. Aku nggak akan lepas tangan. Tentunya, kita masih satu tim. Cuma, proyek ini kamu yang jadi PIC-nya.”
Tapi apakah itu sama saja? Untuk apa Baba Jek mengatakan ‘kita masih satu tim’ yang kemudian dialah yang harus menanggung semua keputusan, semua tekanan, dan semua risiko? Keheningan sejenak mengisi ruangan. Wiratama menatap kembali proposal itu, barisan angka di halaman anggaran proyek membuat matanya sedikit membesar.
“Dan, kompensasinya...” Baba Jek menyengir sambil mendorong selember kertas ke arahnya, “Tiga kali lipat dari fee tur ERK kemarin. Belum termasuk bonusmu.”
Wiratama memandangi angka itu lama, seolah mencoba memastikan ia tidak salah baca. Jumlahnya memang bisa menunjang banyak hal, tabungan persiapan menikah dengan Kirana, dan bisa untuk mencicil rumah. Cukup bisa mewujudkan rumah tangga bersama Kirana yang sudah ia idam-idamkan sejak lama.
Baba Jek menyandarkan punggung, nada suaranya menurun. “Tam, ini bukan cuma buat kamu. Ini juga buat vibranifest. Kalau ini berhasil, nama kita nggak akan cuma dikenal di lingkaran festival lokal lagi. Dan aku tahu... kamu udah sangat matang.”
Wiratama mengangkat pandangan, matanya beralih dari angka-angka di kertas ke tatapan Baba Jek. Sebuah simpul mulai terbentuk di wajahnya, yang entah nantinya akan ia ikat atau ia lepaskan. “Baik, Baba. Akan aku putuskan nanti.”
Baba Jek mengangguk, senyumnya sedikit memudar. Memang, bernegoisasi dengan Wiratama tidak selalu bisa mendapatkan kesepakatan di hari itu juga. Harisnya ia paham soal itu. “Kalau begitu, aku kasih waktu lima hari untuk mempertimbangkan peluang ini, Tam.”
Pintu ruangan Baba Jek menutup pelan di belakangnya, meninggalkan aroma kayu meja dan bayangan map tebal bertuliskan Mega Fest di benaknya. Langkah Wiratama melambat, seolah kakinya menolak mengantar pikirannya lebih jauh dari apa yang tadi dibicarakan di dalam ruangan. Lorong menuju pantry terasa lebih panjang dari biasanya.
Wiratama menjatuhkan tubuh ke kursi besi di pantry, kursi yang biasa dipakai kru untuk sekadar menunggu air dispenser berhenti bergelembung. Satu tangan menelungkup di meja, yang lain memutar gelas kopi yang baru saja diseduh, airnya masih panas. Tatapannya kosong menembus permukaan meja stainless.
Bangga? Tentu saja! Siapa orang yang tidak bangga ketika mendapat kepercayaan sebesar itu, dan tidak semua orang bisa mendapatkannya. Tapi semakin besar kepercayaan orang terhadap dirinya, semakin besar pula beban yang ia tanggung.