Semenjak kejadian itu, suasana di rumah jadi berbeda. Terutama hubungan antara Wiratama dan Rinanti yang semakin mendingin. Pintu kamar Rinanti sering tertutup rapat. Jika pun terbuka, hanya sekilas untuk keluar mengambil minum, lalu kembali lagi sebelum sempat ada percakapan.
Wiratama sudah beberapa kali mencoba memecah jarak itu. Sekadar menyapa saat berpapasan di dapur, atau menawarkan tumpangan ketika ia tahu Rinanti hendak pergi ke kampus. Namun selalu saja, setiap kali upaya itu dilakukan, Rinanti punya alasan untuk menghindar. “Aku udah dijemput Rama.”
Di suatu pagi juga tampak sama dengan hari-hari sebelumnya. Meja makan hanya terisi oleh suara sendok yang membentur piring. Rahayu menata piring nasi untuk Laras dan Arum, lalu duduk tanpa banyak bicara. Sedikit senyum ketika menatap kedua anaknya yang sudah mengenakan seragam sekolah, lalu senyumannya sedikit memudar ketika pandangannya bergeser pada dua kursi kosong di sebelah Laras—kursi yang biasa diduduki Wiratama dan Rinanti.
Wiratama kemudian muncul di dapur, pandangan Rahyu langsung menangkap tubuh sosok anaknya yang paling dewasa itu. Ia memperhatikan Wiratama yang tengah mengambil beberapa centong nasi ke piringnya, menyendoki beberapa lauk dan sayur-sayuran yang telah disajikan ibunya.
“Rinanti udah berangkat, Buk?” tanya Wiratama yang sempat menatap kursi kosong di sebelahnya, kemudian ia duduk di kursinya.
Rahayu menghela napas sebentar, lalu menjawab. “Udah... masuk kuliah pagi. Tadi dijemput sama cowoknya.”
Satu tarikan napas Wiratama tertahan di tenggorokan. Kemudian ia memandang seporsi sarapan pagi di piringnya. Bau wangi nasi yang baru saja diangkat dari kukusan tak cukup menutupi sepi yang mengendap di ruangan itu. Wiratama mengaduk-aduk sayur di piringnya, untuk mengalihkan pandangan dari kursi kosong yang mengingatkan dirinya pada jarak dengan Rinanti yang semakin lebar.
“Hari ini kerja di rumah atau ke kantor?” tanya Rahayu memecah keheningan dapur.
Wiratama mengangkat wajah, menghentikan adukan sendoknya. “Di rumah, Buk.”
Rahayu mengangguk, matanya melirik kursi kosong di seberang, lalu cepat-cepat kembali ke piringnya. Rahayu ingin bertanya lebih jauh tentang Rinanti, tentang Rama, tapi bibirnya menutup rapat. Ia tahu, satu pertanyaan saja bisa memancing percakapan yang belum siap ia dengar jawabannya. Sementara itu suara sendok dari Laras dan Arum yang tergesa, hanya menambah rasa bahwa dapur ini bukan lagi tempat hangat seperti dulu.
“Tam, jangan dibiarin terlalu lama kayak gini sama Rinanti. Nanti makin susah ngomongnya... Ibu cuma nggak ingin, Rinanti terpengaruh dengan gaya hidupnya Rama.” Begitulah yang dikatakan Rahayu.
Wiratama hanya mengangguk. Ia paham betul apa yang dikawatirkan ibunya, tetapi setiap mencoba berbicara padanya, ia teringat pada ucapan dan tatapan tajam Rinanti. Tak pernah terbayangkan memang, Rinanti bisa bersikap seperti ini.
Pada awalnya memang Wiratama ingin membiarkan Rinanti yang sedang berada di fase kasmarannya. Tetapi dengan adanya rumor yang tidak mengenakkan tentang Rama, tidak salah Wiratama sebagai kakaknya menaruh wasapada. Lantas, mengapa ketika Wiratama ingin menyampaikan kekhawatiran dirinya dan ibunya, justru dialah yang disalahkan?
Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah ini salah langkahnya, atau memang jarak usia dan pengalaman telah membentuk jurang yang tak bisa ia jembatani lagi. Ia ingin melindungi, tapi setiap kata yang ia ucapkan justru terdengar seperti tuduhan bagi Rinanti. Dan di tengah keraguannya itu, muncul rasa bersalah yang membuatnya semakin sulit bergerak.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola yang sama. Rinanti jarang di rumah, pulang malam dan kemudian mengunci diri di kamar. Jika kebetulan bertemu di dapur, percakapan mereka hanya sebatas salam singkat. Tidak ada lagi gurauan yang biasanya mengisi ruangan.
Laras yang sudah peka dengan kerenggangan kedua kakaknya ini, kadang mencoba menjadi penengah. Secara diam-diam Laras memasuki kamar Rinanti, berbagi cerita dengan Rinanti, dan mendengar curahan hatinya. Kadang juga ia menghampiri Wiratama yang sedang sibuk di depan layar laptopnya.
“Kak Rinanti, cuma pengen kakak ngerti. Dia bilang, dia tahu kakak peduli, tapi caranya kakak untuk ngingetin dia salah. Mungkin... kakak coba dengerin dia aja dulu, jangan langsung ngasih nasihat,” katanya suatu sore.
Tapi di kepala Wiratama saat itu, pikirannya kembali pada percakapannya dengan Rama. Ia tahu terlalu ingin selesai dengan masalah itu. Namun, di sisi lain, ucapan Laras juga memberikan kebenaran. Bahwa ada jalan lain untuk berdamai dengan Rinanti. Ia hanya perlu berhenti menjadi seorang kakak yang menggurui, dan mulai menjadi seorang kakak yang mendengarkan, seperti yang Laras lakukan pada Rinanti.