Aktivitas di katering Citra Rasa Ibu dimulai sangat dini, tepat pukul 4 pagi, untuk mempersiapkan pesanan sarapan bagi acara-acara kantor. Puncak kesibukan terjadi hingga pukul 11 siang, saat semua katering makan siang harus siap untuk dikirim. Setelah itu, Rahayu dan karyawannya akan mengambil jeda istirahat hingga pukul 1 siang, sebelum kembali bergegas menyiapkan pesanan makan malam yang harus selesai paling lambat pukul 3 sore.
Rahayu memulai harinya sangat pagi, biasanya sudah berangkat dari rumah pukul setengah empat. Di sana, Endang dan Tutik sudah tiba lebih dulu. Endang yang memegang kunci, tinggal tak jauh dari dapur katering. Ketika jam menunjukkan pukul setengah tujuh, Rahayu akan pulang ke rumah untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya. Setelah itu, ia akan kembali lagi ke dapur katering pukul delapan.
Mungkin bagi orang lain, apa yang dilakukan Rahayu ini terasa berlebihan. Padahal ia bisa saja mendelegasikan tugas untuk mengurus Laras dan Arum kepada Wiratama atau Rinanti, yang ia tahu sudah cukup mandiri, dan tentunya mereka bisa mengurus dua anak kecil itu. Namun baginya, itu sebuah naluri. Ia adalah tipikal ibu yang merasa aman jika semua tanggung jawab berada di tangannya.
Langit pada pagi itu memantulkan cahaya keemasan. Langkah Rahayu menyusuri halaman depan rumah setelah turun dari motornya, dengan langkah yang jauh lebih ringan dibandingan beberapa hari terakhir. Sempat sakit di hari kemarin, dan menuruti apa yang dikatakan Wiratama dan Rinanti untuk jangan kembali ke dapur katering pada siang itu. Rahayu memutuskan tidur, dan malamnya badan sudah kembali pulih. Ia langsung bisa menyiapkan makanan untuk Laras dan Arum. Rinanti? Ah, anak itu sebelum magrib sudah dijemput cowoknya dengan motor berkenalpot garang.
Dari kamar, Laras dan Arum muncul dengan seragam masing-masing. Arum yang paling heboh menyambut kedatangan sang ibu. Senyum langsung terangkat dari bibir Rahayu melihat kegembiraan kedua anaknya itu. Ia lalu mengingatkan mereka agar segera bersiap-siap berangkat sekolah, dan kedua anak itu langsung membuntuti ibunya hingga ke dapur.
Bagaimana dengan dua anak yang sudah dewasa itu? Wiratama dan Rinanti? Oh jelas, tak perlu ditanyakan. Keduanya masih meringkuk di kamar masing-masing. Rinanti yang di malam sebelumnya pulang larut setelah pergi dengan Rama, sedangkan Wiratama menggarap festival musik hingga dini hari.
Meskipun begitu, Rahayu tetap berupaya membangunkan mereka. Ia mengetuk pintu kamar Rinanti agar segera bersiap ke kampus, lalu membangunkan Wiratama untuk mengantar Laras dan Arum sekolah.
Wiratama keluar tak lama setelah panggilan terakhir ibunya, ia muncul di dapur dengan rambut yang acak-acakan sambil mengucek-ucek matanya, kemudian melihat Rahayu yang sudah tampak lincah mengurus dua adiknya, dan suara yang terdengar dari ibunya sudah lebih jernih, tidak ada lagi serak terdengar.
Segeralah Wiratama mengambil sepiring nasi kuning beserta lauknya yang sudah disajikan oleh ibunya. “Buk, udah beneran sehat?” tanyanya, menaruh piring di meja hadapannya.
“Kamu nggak lihat, ibu udah siapin sarapan dari tadi pagi?” Rahyu tersenyum mendengar pertanyaan anak lelakinya, kemudian menunjuk ayam dengan bumbu kuning kaya rempah, telur rebus yang dilumuri sambal balado pedas manis, tempe kering yang renyah dengan rasa manis pedas, serta serundeng kelapa yang kering dan harum.
Wiratama menarik kursi, duduk, lalu menatap hidangan itu lama. Pagi itu ada yang membuatnya lega selain keberhasilan acara festival musik selama dua hari, ia melihat ibunya kembali ke rutinitasnya dengan kondisi fisik yang lebih baik.
Tak lama, Rinanti keluar dari kamarnya dengan wajah tanpa riasan, dan kaos longgar yang dipaikainya membuatnya terlihat lebih santai daripada biasanya. Ia melirik sekilas pada Wiratama, lalu menaruh gelas yang ia bawa dari kamar ke tempat cuci piring.
“Hari ini ada kelas, Rin?” tanya Rahayu.
Rinanti mengangguk, kemudian menjawab, “Nanti siang, Buk.”
“Ya udah sarapan dulu.” Mata Rahayu menunjuk kursi kosong di sebelah Wiratama.
Rinanti sempat ragu, tetapi akhirnya duduk juga. Gerakannya pelan, seolah sedang menguji suasana. Padangannya sesekali bertemu dengan mata Wiratama, tapi hanya sedetik lalu segera dialihkan ke hidangan sarapan di atas meja.
Laras dan Arum yang duduk di sisi berlawan justru tampak heboh. Mereka saling menyodorkan lauk, berebut sendok, lalu tertawa.
“Arum, jangan ambil ayamnya kebanyakann, aku nggak kebagian,” protes Lasar sambil menepis tangan adiknya yang hendak menyendok.
“Tapi ini enak,” jawab Arum tertawa renyah yang membuat tawa itu menular. Bahkan Rahayu ikut tergelak, matanya menyipit melihat tingkah si bungsu.
Wiratama pun ikut tersenyum melihat kedua adiknya. Hanya Rinanti yang tetap diam, meski sudut bibirnya sedikit terangkat. Untuk sesaat, meja makan terasa penuh. Kursi yang biasanya kosong kini terisi.
Suara sendok dan gelak tawa anak-anak menyatu, menghadirkan ilusi kebahagiaan. Rahayu menatap mereka satu per satu dengan rasa syukur, karena rumah ini kembali utuh, walau tidak dengan suasana seperti biasanya.
Setelah suapan ketiga, Rinanti meletakkan sendoknya lalu berkata. “Nanti sore aku mau pergi sama Rama. Jadi jangan tungguin aku untuk makan malam ya, Buk.”