Wiratama

Setia S Putra
Chapter #22

Chapter #22 Intermezzo

Dari luar, gedung berlantai lima itu tampak bersih dengan dinding kaca memantulkan cahaya matahari. Lobi dipenuhi deretan kursi minimalis berwarna hitam, resepsionis duduk rapi dengan setelan blazer, dan setiap tamu yang masuk disambut dengan senyum singkat. 

Begitu melewati pintu, aroma pengharum ruangan memenuhi hidung Wiratama. Suara sepatu hak tinggi terdengar ritmis, bergantian dengan suara papan tombol komputer yang diketuk cepat. Sangat jauh berbeda dengan kantor Vibranifest, di sini sama sekali tidak terdengar musik yang diputar dari speaker, tidak tampak juga poster atau setiker kecil dari band-band indie yang menempel di dinding maupun kaca.

Wiratama menegakkan bahu, menarik napas, lalu mengikuti petunjuk resepsionis menuju lantai tiga, tempatnya divisi visual dan produksi konten berada. Setibanya di koridor lantai tiga, terasa lebih sunyi. Hanya terdengar suara mesin printer. Di sinilah baru terlihat poster-poster band, dan foto-foto konser yang pernah ditangani Mega Fest. Langkah Wiratama terhenti sejenak, matanya menyapu wajah-wajah musisi internasional seperti Green Day, Sofie Isella, dan Oasis. 

Seorang pria berkemeja putih dengan lengan digulung muncul dari balik pintu berlabel Creative Production. Pria itu berusia sekitar akhir tiga puluhan, rambut disisir rapi, wajahnya tegas. Dialah yang pertama kali melihat Wiratama yang masih berdiri, dan kemudian melangkah menghampiri.  

“Mas Wiratama?” panggilnya, berhasil menggerakkan pandangan Wiratama ke arah seorang pria yang kini sudah berdiri di hadapannya. “Aku Fauzi, creative director di sini.”

Wiratama cepat-cepat mengangguk, menjabat tangannya. “Iya, Mas.”

Fauzi masih menahan jabat tangan Wiratama beberapa detik, lalu melepaskannya dengan senyum singkat. Tangannya otomatis menyelip ke dalam saku celana kain. “Semua itu dokumentasi dari proyek yang pernah kita garap,” jelas Fauzi sambil menoleh sekilas ke poster-poster itu.

Wiratama mengangguk. Pandangannya kembali melirik dinding panjang di belakang Fauzi. Poster konser Green Day dengan sorot lampu stadion. Foto Sofie Isella, berdiri di panggung dengan layar LED raksasa menyala. Ada juga potret hitam-putih Oasis, diabadikan dari angle belakang panggung, ribuan penonton menjulang seperti lautan kepala.

“Event tahun ini targetnya lebih besar lagi. Makanya kamu diperlukan di sini.” Fauzi menoleh, matanya langsung menangkap sorot ragu di wajah Wiratama. “Santai aja. Kita semua belajar kok. Yang penting, kamu harus siap.” Wiratama hanya mengangguk. Ia tahu kata ‘siap’ ada konsekuensi panjang di baliknya.

“Yuk, masuk dulu.” Fauzi berbalik, kemudian melangkah menuju pintu berlabel Creative Production. Wiratama kemudian mengikutinya. 

Begitu pintu itu terbuka, ruangan langsung dipenuhi cahaya putih dari lampu neon. Meja-meja panjang tersusun rapi, masing-masing dengan monitor besar, tablet grafis, dan tumpukan sketchbook. Suara klik mouse, ketukan keyboard, dan samar musik dari headphone bocor jadi latar. Bau kertas cetakan bercampur dengan kopi yang baru diseduh.

Fauzi melangkah masuk lebih dulu. “Teman-teman, kenalin ini Wiratama. Dia akan ikut di divisi visual kita untuk event Mega Fest empat bulan kedepan.”

Beberapa kepala langsung menoleh. Ada yang hanya mengangguk singkat, ada yang tersenyum ramah. Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun berdiri dari kursinya. Rambutnya agak menipis, berkacamata, kemeja biru muda dilipat rapi di siku. “Saya Bagas,” ucapnya, sambil menjabat tangan Wiratama. “Kerjaanmu nanti, langsung koordinasi sama saya.”

Wiratama mengangguk, langsung membalas jabatan itu dengan cepat. 

Di meja sebelah, seorang perempuan berambut pendek, mengenakan kaus hitam dengan logo band, melambaikan tangan kecil. “Halo, aku Siska. Nanti kalau butuh data, biasanya aku yang urusin file-file visual lama.” Senyumnya ramah, matanya menatap Wiratama tanpa canggung.

Sebelahnya, seorang pria berkemeja kotak-kotak hanya mengangguk tipis. Earphone masih menempel di telinganya. Wajahnya dingin, ekspresi nyaris tak berubah. Fauzi menoleh sejenak. “Itu Randi. Dia juga desainer, ia fokusnya ke motion. Agak pendiam memang, tapi kerjanya cepat.”

Wiratama mengangguk, mencoba mencatat nama-nama itu di kepalanya.

Bagas kemudian menepuk-nepuk map tebal di mejanya, “Oke, sebelum kamu mulai, ada beberapa hal yang harus kita luruskan.” Sorot matanya menatap langsung pada Wiratama, “Jadi koordinasi, deadline, semua harus disiplin. Kita nggak main-main dengan waktu.” 

Wiratama menegakkan bahu. “Saya paham, Mas.”

Namun Randi tiba-tiba menyahut, padahal tidak ada yang mengajaknya bicara, “Semoga aja nggak kayak anak magang yang dulu. Masuk semangat di awal, tapi begitu deadline mepet, kerjaannya berantakan. Kita semua yang repot nutupin.”

Suasana hening sejenak. Wiratama merasakan tatapan beberapa orang meliriknya. Ia bisa saja membalas, tapi ia memilih menahan diri. Fauzi kemudian menimpalinya, “Aku ngerti maksudmu. Tidak semua orang sama, aku bakal pastiin Wiratama orangnya berbeda. Dia ini dari Vibranifest, dia juga ikut menggarap turnya ERK.” 

Di sisi lain, Wiratama bisa merasakan hawa permusuhan dari sudut mata Randi. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi kata-kata Randi sudah terlanjur menancap, meninggalkan rasa pahit di lidahnya. 

Di sampingnya, Bagas hanya memejamkan mata sesaat sambil menghela napas panjang, seolah ia sudah terlalu sering menghadapi situasi seperti ini. “Oke, cukup. Kita lihat hasil kerjanya nanti,” potong Bagas mencoba meredakan tensi.

Fauzi kemudian menepuk bahu Wiratama. “Duduk aja dulu, nanti aku kasih rundown besar. Kamu bisa mulai adaptasi dengan ritme di sini.” 

Wiratama kemudian melangkah menuju meja kosong, menaruh ransel di atasnya, membuka kantong dan mengeluarkan laptopnya. Tangannya sedikit gemetar ketika menyalakan laptop.


Lihat selengkapnya