Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #1

Prolog

Mimpi itu datang lagi. Seperti kaset yang terus diputar tanpa henti. Di sana, aku melihat diriku terbaring di sebuah ranjang rumah sakit dengan wajah pucat pasi serta sekujur tubuh yang lemas tidak berdaya. Lalu ada sosok asing yang berdiri di samping tempat tidur. Tubuhnya tinggi, wajahnya ditutupi oleh cahaya yang menyilaukan. Suaranya tegas, seperti polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.

“Benar dengan saudari Ragaluh Aghnia?” ucapnya.

“Ya, benar. Saya Ragaluh Aghnia.”

“Perkenalkan, saya utusan dari Tuhan.”

Aku tidak menanggapi ucapannya, hanya menunggu ia kembali bersuara.

“Apakah kamu tahu maksud dari tujuan saya datang ke tempat ini?”

Aku menggeleng. “Tidak. Saya tidak tahu.”

“Baiklah. Mari dengarkan pertanyaan saya lebih dulu,” ucapnya. “Benar usia anda sekarang 29 tahun?”

“Ya, benar. Saya merayakan ulang tahun yang ke-29, tepat lima bulan yang lalu.”

“Kalau begitu, silahkan sebutkan kejahatan terbesar yang pernah anda lakukan selama 29 tahun menjadi manusia.”

Aku membisu. Lalu suara itu kembali terdengar lagi dengan lantang. “Apakah kamu mendengar pertanyaan saya barusan?”

“Ya, saya mendengarnya.”

“Kalau begitu silahkan dijawab.”

“Kejahatan terbesar yang pernah saya lakukan adalah saya tidak berada di sisi Ibu saya ketika beliau menghembuskan napas terakhirnya di dunia.”

“Selain itu?”

“Saya juga memilih minggat dari rumah karena terlalu membenci Bapak saya.”

“Selain itu?”

“Saya berpacaran dengan seorang lelaki yang sangat mencintai saya tetapi saya sama sekali tidak berniat untuk menikah dengannya.”

“Selain itu?”

“Saya sering menyindir teman saya yang tergila-gila dengan lelaki yang sudah beristri.”

“Selain itu?”

Aku terdiam. Mulutku berhenti mengeluarkan suara, bersamaan dengan habisnya kosakata yang ada di dalam pikiran. Mendadak, aku kehilangan jawaban.

“Apakah kamu tahu bahwa di antara kejahatan yang telah kamu sebutkan tadi, ada satu kejahatan yang tidak bisa ditoleransi lagi oleh Tuhan?”

“Tidak. Saya tidak tahu.”

“Kejahatan karena tidak menyayangi diri sendiri,” ucapnya. “Menyesalkah kamu karena sudah terlalu keras pada diri sendiri?”

“Saya–”

Lihat selengkapnya