Tidak ada yang berubah. Jakarta masih menjadi kota yang sibuk. Seperti isi kepala yang tidak mau berhenti berdenyut. Tetapi diantara deret realita yang terus bergerak tanpa henti, bukankah kita tetap harus bersyukur?
Kepala yang terus berpikir, pertanda hidup masih bergulir. Walau kadang hidup tidak sekedar memberi rasa senang, melainkan ada pula rasa sedih yang mesti kita telan. Seperti sepasang yang saling membutuhkan. Keduanya diciptakan untuk saling menyeimbangkan.
Ya. Tuhan memang kerap kali menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia dengan cara berpasang-pasangan. Ada suka dan duka, ada senang dan sedih, ada kanan dan kiri, ada terima dan kasih, dan ada pula lelaki dan perempuan yang seharusnya saling membutuhkan dan saling menyeimbangkan. Bukannya saling melenyapkan, lantas mencipta luka yang tak berdarah namun nyerinya sampai ke dalam dada.
“Tadi pagi Radit nge-chat gue. Dia nanyain kabar lo,” ucap Rana setelah meneguk teh dingin pesanannya.
Istirahat jam makan siang bersamaan saat aku meninggalkan kantor usai berpamitan dengan pimpinan beserta rekan kerja yang lain. Dan Rana ingin makan siang bersama hari ini, sebagai bentuk perpisahan katanya. Padahal aku masih tinggal di rumah kosan yang sama dengannya. Masih tidur bersama juga setiap malam. Satu-satunya yang berubah, hanya lingkungan kerja saja. Tetapi Rana malah bersikap seolah besok kita tidak bisa bertemu lagi.
“Ini serius Gal, lo putusin Radit. Nggak bisa di cancel gitu?” Rana kembali bersuara saat aku hanya diam saja tanpa berniat untuk menanggapi kalimatnya tadi.
“Kasian Radit tau. Dia sayang banget sama lo. Semua isi dunia pun tau tentang fakta itu. Masa iya diputusin gitu aja, Gal.” Lagi-lagi Rana terus menumpahkan isi kepalanya yang kusut itu kepadaku.
“Galuh,” panggil Rana saat tidak mendapat tanggapan apapun dariku.
Aku mengalihkan tatap dari cangkir teh yang ada di atas meja. Wajahku mendongak untuk kemudian melihat ke arah Rana yang ada di depanku. Aku berdehem pelan.
“Emang harus putus ya? Soal urusan nikah, kan bisa dibicarakan nanti. Gue yakin Radit juga bakal ngerti kok. Gue percaya dia nggak bakal maksa kalau emang lo belum siap untuk nikah. Ya nggak harus putus juga, kan?”
“Ya terus apa. Kalau nggak putus, terus gimana? Pacaran itu kalau nggak nikah yah putus, kan? Udah bener gue milih putus,” jawabku dengan ketus. “Lagian udah syukur gue putusin Radit sekarang. Dengan begitu dia ada peluang untuk bisa dapat yang lebih baik dari gue. Radit itu terlalu baik, Na. Dia terlalu baik buat gue yang banyak kurangnya. Kita nggak sepadan.”
Rana mendaratkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kasar. Kedua tangannya menyilang di depan dada, lengkap dengan ekspresi wajah yang sedang menahan amarah.
“Ini nih, tipe perempuan yang bakal susah ketemu jodoh. Udah dikasih yang baik kok malah nggak bersyukur. Emang lo cari lelaki yang kayak gimana? yang jahat, yang bisa bunuh orang, atau yang jadi mantan narapidana?” ucap Rana dengan emosi yang meluap-luap. “Kesal gue lama-lama.”
“Yang pasti gue nggak nyari lelaki yang udah jadi suami orang.”
Rana melotot. Tangannya yang sedang memegang tisu, spontan melempar ke arahku. “Malah nyindir.”
Aku hanya tersenyum samar. Walau sering tersindir, Rana tetap saja tidak ingin sadar diri. Tetap saja ia akan menunggu mantan pacarnya itu. Entah sebagai duda, atau masih sebagai lelaki yang berstatus suami. Katanya, Rana rela kok kalau harus jadi istri kedua. Nikah diam-diam pun tak apa. Asal nikahnya sama mantan kekasihnya itu. Edan.
“Jadi rencana lo sekarang apa? Resign, udah. Putus juga udah. Terus apa?”
Aku tersenyum lebar mendengar pertanyaan Rana barusan. Membuat kebingungan di wajahnya semakin berlarut-larut.
“Gue pengen nulis fiksi,” jawabku dengan senyum yang tak kunjung surut. “Mulai hari ini, gue akan menggeluti karir sebagai seorang penulis.”