Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #3

Getuk Lindri

Seperti juga hidup yang tak melulu soal hitam dan putih, getuk pun hadir dengan beragam warna-warni yang memikat. Tetapi ini bukan tentang warna yang memikat, bukan pula karena fisik yang kata orang-orang cukup menarik untuk ditatap mata, melainkan karena sebuah rasa yang mampu dengan mudah kawin bersama lidah penikmatnya.

Rasanya yang gurih, ditambah detail manis di setiap kunyahan, yang ketika digigit langsung meleleh dengan lembut di mulut, adalah sebuah definisi rasa yang sempurna untuk sebuah makanan sederhana dengan tampilan yang begitu apa adanya. 

“Daya tarik dari getuk lindri itu adalah teksturnya yang lembut dan kenyal. Tidak butuh tenaga ekstra untuk mengunyahnya hingga halus dan bisa ditelan. Makanya getuk cukup populer di kalangan lansia.”

Aku menoleh. Tepat di sebelah kanan kursi panjang yang sedang aku tempati sekarang, seorang lelaki duduk tanpa memohon izin lebih dulu. Ia tersenyum, menampilkan deret giginya yang rapi beserta brewoknya yang tipis terlihat seperti baru saja dicukur tadi pagi.

“Suka jajan getuk disini ya, Mbak?” ucapnya lagi sambil melihat ke arahku.

“Maaf?” jawabku bingung. Bukannya apa-apa. Tetapi aku mampir di tempat ini hanya untuk menikmati getuk lindri. Bukan untuk berbicara dengan lelaki asing sebagaimana yang ada di sampingku sekarang.

Kita tidak kenal, apalagi dekat. Dan bukankah tidak wajib untuk berbicara seperti kawan lama yang baru saja bertemu kembali di sebuah tempat asing yang tidak pernah kita rencanakan sebelumnya?

“Juna,” jelasnya sambil mengulurkan tangan ke arahku.

Masih dengan mimik wajah yang bingung. Alih-alih menyambut jabat tangannya, aku malah membeku di tempat tanpa mengucap sepatah kata pun. Canggung saja berbicara dengan orang baru. Karena jika diingat-ingat lagi, sejak bertemu kembali dengan Radit sekitar lima tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi melewati fase kenalan dengan seorang lelaki. Rekanku masih itu-itu saja. Tidak ada yang baru, banyaknya malah yang pergi dan menjadi masa lalu.

“Ya…  apalah arti sebuah nama,” ucapnya, kembali menyahut dengan canggung.

Aku menjawabnya dengan hanya bergumam.

Tidak lama, pemilik kedai datang dengan membawa secangkir kopi hitam bersama dengan cemilannya. Ada getuk lindri, klepon dan kue talam. 

Setelah pemilik kedai berlalu pergi, ia meraih gelas kopinya yang masih mengepulkan uap panas di udara. Ia hirup dalam-dalam aroma arabika yang menguar dari gelasnya. Dalam sepersekian detik, ia memejamkan mata. Tampak menikmati apa yang ada di hadapannya.

“Yang paling buat saya selalu jatuh cinta dengan nusantara, ya aroma kopinya yang khas ini,” jelasnya setelah meneguk kopi. “Apalagi kalau dipadukan dengan getuk lindri yang manis. Beuuuh… makin sempurnalah hidup ini.”

Lelaki itu menoleh ke arahku. Ia tersenyum. Sebelum akhirnya kembali menikmati getuk lindri yang ia pesan tadi. Mendadak, aku jadi teringat Radit. Ia juga pecinta kopi hitam tanpa gula. Aku ingat Radit pernah bilang, “Gapapa tanpa gula, asal minumnya sambil lihat senyum kamu. Dijamin kopinya langsung manis.”  

Gombal sekali kan dia. Tetapi meski tahu Radit cuma gombal, bodohnya aku malah senyum-senyum sendiri setiap kali mendengarnya mengucap kalimat barusan. Iya, dulu. Sebelum hubungan kita mengharuskan banyak hal. Mengharuskan sebuah nama, menuntut sebuah kepemilikan yang sah di mata banyak kalangan. Dan sialnya, cinta lagi-lagi harus butuh alasan untuk tetap tinggal.

Hari ini tepat seminggu berlalu sejak kali terakhir aku dan Radit berpisah di parkiran kantor. Seperti kataku tempo hari, betapa waktu begitu cepat berlalu. Padahal rasanya seperti baru kemarin kita adu debat perihal putus atau lanjut. Aku yang ingin putus, sedang Radit yang ingin hubungan ini berlanjut hingga ke jenjang yang lebih serius. Radit menjalani hubungan ini dengan begitu tabah, sebab ia mengimpikan garis finish yang bernamakan pernikahan.

“Pernikahan Akas dan Intan minggu depan kamu bisa hadir, kan? Mama bakal sedih banget sih kalau kamu nggak bisa datang.”

“Iya, bakal aku usahakan,” jawabku lantas menoleh, memandangi wajah Radit yang kini juga ikut menoleh. Tatap kita kini saling beradu dalam sepersekian detik. Sebelum akhirnya aku mengalihkan tatap pada gelas kopi yang sejak tadi kugenggam dengan erat. Kuteguk kopi yang masih tersisa. Membuat Radit ikut-ikutan meneguk kopinya yang juga ia genggam sejak tadi. Ada hening yang seketika menyelimuti tempat kita.

“Bulan ini kayaknya bulan penuh cinta, yah. Banyak banget orang yang pada nikah. Teman kuliahku ada lima orang, karyawan di toko juga ada satu orang yang mau nikah, terus keluargaku ada tiga orang, Akas, Tari sama Alfa. Boncos aku gara-gara kondangan terus,” jelas Radit memecah keheningan yang semula tercipta.

“Belum lagi sepupuku pada minta kado pernikahan yang mahal-mahal semua. Tari tuh, yah, masa minta dibeliin tas branded yang harganya setara dengan pengeluaran aku selama sebulan. Bener-bener sepupu kundang.” Lagi, Radit masih meluapkan keluh kesahnya padaku. 

Lihat selengkapnya