Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #4

Mie Aceh

Petang terasa hangat oleh awan merah yang menyala. Dan bila saja langit adalah manusia, mungkin sejak tadi ia sudah merintih kepanasan karena dibakar oleh matahari yang hendak permisi merangkul malam. Di jalan raya, kendaraan saling berdempetan seperti sepasang kekasih yang baru saja bertemu setelah sekian purnama terpisah oleh jarak. Tidak seperti aku dan Radit. Kita justru sengaja menciptakan jarak, agar memiliki ruang untuk bisa saling menatap.

Kita duduk saling berseberangan, dibatasi oleh sebuah meja yang di atasnya sudah tersaji dua porsi mie aceh kuah, lengkap dengan minumannya. Radit yang memesan, hari ini mendadak ia ingin makan makanan pedas katanya. 

“Kamu apa kabar?” Radit bertanya, setelah ponsel yang sebelumnya ia genggam kini sudah diletakkan di meja.

Jarak mungkin memang sengaja diciptakan Tuhan, agar kata “hai, apa kabar,” memiliki alasan untuk dilontarkan.

“Baik. Yah, walau hari ini lumayan hectic di kantor,” jawabku sambil menghadiahinya sebuah senyuman. “Gimana dengan Bandung? Kamu belum cerita soal hari-hari kamu selama di sana.” 

Radit baru tiba di Jakarta siang tadi. Tiga hari ia menghabiskan waktu di Bandung. Bisnis clothing miliknya akan melebarkan sayap di kota yang kerap kali disebut sebagai kota kembang. Dan selama tiga hari itu pula, Radit sibuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan pembukaan tokonya di sana. Karena itu, kita jadi kehilangan ruang untuk sekedar saling berbagi cerita perihal hari-hari yang melelahkan.

“Wah, kacau sih waktu hari pertama buka. Pengunjung yang datang banyak banget. Sementara karyawan yang stay di toko cuma ada dua orang doang. Mana hari itu aku masih capek banget lagi, karena baru aja tiba dari Jakarta.”

“Lho, bukannya kamu udah hire karyawan. Kok cuma ada dua orang doang?”

“Kan kemarin pembukaannya dimajuin, Gal. Kita juga nggak expect kalau toko bakal ramai pengunjung. Soalnya kita belum ada share sosmed gitu. Taunya malah banyak banget yang datang. Tapi overall seru sih. Terbayar banget capeknya pas ngeliat pelanggan pada  senang datang ke toko.”

Ponselku berbunyi. Menampilkan nama Rana di pop up notifikasi. Ada satu pesan singkat yang dikirimnya padaku. Membuat Radit menjeda kalimatnya, ikut melirik ke layar ponselku juga.

“Rana,” ucapku seolah menjawab rasa penasarannya. “Dia barusan nge-chat, nanyain aku lagi di mana,” jelasku tanpa melihat Radit. Tatapku terarah pada layar ponsel. Buru-buru aku mengirim balasan pesan kepada Rana.

“Terus, terus,” sahutku setelah meletakkan kembali ponsel ke samping gelas.

“Sibuk banget pokoknya pas lagi di Bandung. Eh iya, maaf ya, aku jadi jarang banget nelpon kamu selama ada di sana.”

“Kok malah minta maaf. Gapapa lagi. Kamu kan lagi kerja di sana, bukannya lagi liburan.”

Radit menggeser piringnya agar bisa lebih dekat dengannya. Fokusnya sudah beralih pada mie aceh pesanannya tadi.

“Oh iya, selama di Bandung kemarin aku juga nyempetin buat cari tempat wisata yang view-nya bagus. Udah dapat beberapa rekomendasi. Kapan-kapan kita liburan ke sana, yah. Sekalian aku mau kenalin kamu sama karyawan yang ada di Bandung. Mereka ramah dan sopan. Terus bicaranya juga lembut. Nggak kayak Nita, yang kalau diajak ngobrol, sukanya sambil teriak-teriak kayak orang lagi konser.”

Nita yang Radit maksud adalah karyawannya yang ada di sini. Nita itu memang terkenal bar-bar. Tapi jangan salah, dia adalah karyawan Radit yang paling lama. Meski bar-bar, Radit selalu puas dengan hasil kerjanya.

Itulah mengapa ada pepatah yang berbunyi seperti ini: Don’t judge a book by it’s cover. Jangan pernah menilai buku dari sampulnya. Biasakan untuk tidak menarik kesimpulan hanya dari penampilan fisik atau dari hal-hal yang terlihat di permukaan saja. Penting sekali untuk mencari tahu lebih lanjut sebelum menilai seseorang. Seperti misalnya sebuah postingan di sosial media. Kadangkala kita sibuk menyudutkan, mengomentari dengan kata-kata kasar, padahal yang kita lihat hanya sebatas foto berukuran persegi empat semata. Bukannya gambaran besar dari kehidupan yang sedang dijalani seseorang di dunia nyata.

“Salah satu yang membuat mie aceh menjadi makanan recomended itu, ya karena bumbunya yang meresap sempurna. Pedasnya itu lho, benar-benar bikin nagih.” 

Setelahnya, terdengar suara Radit yang mengunyah kerupuk emping. Lelaki itu sudah sibuk menikmati hidangan yang ada di depannya. Aku pun demikian. Mulutku sudah bergoyang mengunyah potongan daging sapi, lengkap dengan kuah kari kental yang terasa begitu nikmat saat meluncur ke tenggorokan. 

Keunikan cita rasa mie aceh, terletak pada racikan bumbunya yang kaya akan rempah. Ada jintan, cabai merah, merica, kunyit, kapulaga, lalu… “Bawang putih,” ucap Radit sembari melahap potongan udang laut yang tersisa di piringnya.  

“Kenapa dengan bawang putih?” tanyaku penasaran.

“Bawang putih itu memiliki posisi yang sama dengan kepercayaan.”

“Hah?”

Lihat selengkapnya