Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #5

Klepon

Hidup itu seperti klepon. Bentuknya yang tidak rata, persis dengan kehidupan yang tidak selalu mulus dan penuh dengan cobaan.  Rasanya yang manis dibalik gula merah yang tersembunyi di bagian tengahnya, seperti juga kebaikan yang bisa dirasakan walau seringkali tidak terlihat oleh mata kepala manusia. Lalu parutan kelapa yang digunakan sebagai bahan taburan di bagian luarnya, seperti juga kehidupan manusia yang bertahap. Dari senang lalu sedih, dari duka lantas berujung suka. 

Hidup manusia memang tidak pernah diketahui ujung pangkalnya. Selalu ada kejutan-kejutan yang terselip diantaranya. Dan lagi-lagi, memangnya ada yang pasti di dunia ini selain mati?

Ada banyak hal berubah. Banyak faktor yang memicu terjadinya suatu peristiwa. Tidak satupun diantara mereka yang punya kendali. Sebab manusia, hanya perlu menjalani.   Selayaknya pelakon yang disetir oleh pembuat cerita.

“Jadi kalian ketemu lagi kemarin?”

Rana meraih satu buah klepon yang ada di piring. Sedang hari weekend. Dan alih-alih berkeliaran di luar rumah untuk mencari kesenangan yang sementara, kita berdua justru memilih menghabiskan waktu berdua di rumah kosan sambil menikmati klepon dan juga teh hangat di ruang tengah.

Tak serta merta makan dan minum teh saja. Di depan kita saat ini, TV menyala menampilkan salah satu drama korea yang sedang tayang di netflix. Rana sih yang suka nonton drakor.

“Ya gitu deh, Na. Dia tiba-tiba nyamperin gue di meja pas lagi makan siang. Nggak pernah terencana. Tapi lucunya, siang itu kita malah jadi ngobrol panjang lebar. Berasa kayak udah kenal lama.”

“Hah? Demi apa, lo ngobrol panjang lebar sama dia? Bukannya kalian baru ketemu dua kali, ya?”

“Seperti air di sungai, obrolan kita tiba-tiba mengalir tanpa henti. Mungkin karena Juna adalah sosok yang menyenangkan?” Aku langsung buru-buru menggeleng. Dengan cepat aku menghapus wajah Juna di dalam ingatanku. “Nggak tau deh, pokoknya kita nyambung aja pas lagi ngobrol.”

Rana meraih satu buah klepon lagi yang di piring. Kali ini ia mengambil klepon berwarna merah muda. Mulutnya sibuk mengunyah. Begitu pula matanya yang tak ingin berkedip saat menatapku dengan raut wajah penuh tanya.

“Menyenangkan mana sama Radit?”

Rana tersenyum mendapatiku kehilangan kata-kata. “Lama bener jawabnya. Apa sesusah itu membandingkan orang yang baru lo temui dua kali dengan orang lama yang bahkan sudah lima tahun ngabisin waktu bareng sama lo.”

Aku masih diam. 

“Gue cuma mau ngingetin sih, Gal. Dulu waktu lo awal-awal ketemu sama Radit, lo juga bilang kalau Radit itu sosok yang menyenangkan.”

Ponsel Rana berdering. Membuatnya segera melirik benda itu, sebelum akhirnya ia beranjak entah berpindah ke ruangan bagian mana. Yang jelas, sekarang aku sendirian di sofa. TV masih menyala, masih menayangkan drakor yang disetel oleh Rana. Tidak kutonton, tapi suaranya terdengar hingga ke dalam gendang telinga. Mendadak aku jadi kepikiran Radit.

Kuncinya percaya. Kalau sudah saling percaya, pasti hubungannya akan bertahan lama. Suara Radit waktu itu kembali meracau di dalam kepala.

Hari itu aku meyakini ucapan Radit tanpa sedikitpun menyanggah. Sebab menurutku, sebuah hubungan memang harusnya memiliki pondasi saling percaya. Bayangkan saja jika dalam sebuah hubungan kita tidak memiliki pegangan itu. Pasti akan melelahkan sekali karena harus menaruh rasa curiga kepada pasangan disetiap waktu. Kisah asmara yang seharusnya membahagiakan, hanya akan berujung pada konflik yang tiada akhirnya. Tidak berkabar sehari saja, kita akan dikepung banyak prasangka. Dan bukankah itu melelahkan? 

Ya, dulu aku meyakini itu. Radit adalah seorang pembicara yang baik. Dalam setiap pertemuan, aku selalu suka bagaimana dia membuat obrolan mengalir tanpa pernah bisa ditebak akhirnya. Karena pada setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, selain gombal, Radit juga penuh dengan kejutan ternyata. Seperti obrolan kita tentang bawang putih dan kepercayaan waktu itu. Orang gila mana coba yang mengaitkan bawang putih dengan kisah asmara seseorang.

Tapi lagi-lagi itu dulu. Itu kisah kita beberapa tahun yang lalu. Sebelum akhirnya aku menyadari akan satu hal. Bahwa ada yang luput dari persepsi Radit waktu itu. Karena selain percaya, sebuah hubungan juga butuh sama yang namanya komitmen. Dimana dalam hubungan percintaan, komitmen adalah keyakinan dari kita dan pasangan untuk tetap bersama dalam sebuah hubungan pada berbagai situasi dan kondisi.

Komitmen berarti memberikan pengertian dan kesetiaan yang konsisten. Komitmen berarti memprioritaskan waktu yang berkualitas bersama pasangan. Komitmen berarti menghargai satu sama lain. Dan komitmen berarti menunjukkan pengorbanan. 

Beberapa mampu kupenuhi dengan baik. Tetapi dalam satu kondisi, ada beberapa poin yang ternyata sulit untuk dijalani. Seperti Mie Aceh yang berarti simbol keseimbangan. Dalam sebuah hubungan, porsi antara aku dan Radit, pun harus memiliki takaran yang seimbang. Agar tidak berat sebelah. Supaya tidak ada yang merasa dirugikan.

Lantas bagaimana bisa dikatakan seimbang bila yang rela berkorban ternyata hanya Radit seorang. Dia rela mengorbankan hidupnya yang begitu berharga, hanya untuk menghabiskan sisa waktunya bersamaku. Radit meyakini sebuah pernikahan akan membuat kita memiliki alasan untuk tetap tinggal. Sedang aku… “Nggak,” jawabku kepada Rana. Kini dia kembali bergabung di sofa.

“Nggak mungkin gue terimalah. Kita baru ketemu dua kali, Na. Meski kata dia kita sudah resmi jadi teman karena sudah saling tahu nama, tetap aja di mata gue dia tidak lebih dari orang asing yang kebetulan gue temui di sebuah tempat yang tidak kita rencanakan sebelumnya. Masa iya sekali ditawari makan siang bareng gue langsung mau. Enak aja. Dipikirnya gue cewek gampangan apa.”

Rana terkekeh. Tangannya bergerak mendekat ke meja, meraih mug yang berisi teh yang tampaknya sudah dingin karena terlalu lama didiamkan.

“Kirain lo iyain.” 

Segenap otot wajah Rana terlihat jauh lebih cerah setelah ia selesai mengangkat telepon. Apakah sesuatu yang baik baru saja terjadi padanya? 

“Eh iya, perkembangan cerita fiksi lo gimana?” tanya Rana lagi. Fokusnya sudah beralih pada layar TV.

“Baru ngotak-ngatik outline. Karena menulis bukan pekerjaan kantor yang harus selesai dalam sekali duduk, jadi gue bakal jalan lambat dan ngerjain proyek ini dengan sepenuh hati, bukannya penuh tekanan. Biar pesannya juga bisa sampai hingga ke hati pembaca.”

“Ajep. Mantap bener kata-kata sang penulis kita yang satu ini. Jangan khawatir Gal, gue bakal jadi pembaca pertama setelah cerita lo rampung.”

Lihat selengkapnya