Sudah tiga kali ponsel Rana berdering dengan suara yang memekik. Pemiliknya sedang pergi. Mungkin ke supermarket yang dekat dari kosan.
Jelas aku sempat mengintip benda pipih itu. Tetapi saat melihat nama yang muncul di layarnya, buru-buru aku mengurungkan niatku untuk menjawab telepon tersebut.
Panggilan telepon dari Edo. Lelaki itu lagi-lagi menghubungi Rana padahal sekarang sudah jam sembilan malam. Buat apalagi coba dia mengusik Rana padahal jelas-jelas dia masih berstatus suami orang.
Kembali kupandangi deret huruf yang ada di macbook. Outline sudah rampung. Bahkan aku sudah mengetik dua paragraf di bagian prolog. Namun bukannya melanjutkan apa yang sudah kumulai, aku justru bangkit dari kursi lantas berjalan menuju lemari buku yang ada di sudut kamar.
Pilihanku jatuh pada buku puisi milik M. Aan Mansyur yang berjudul Tidak Ada New York Hari ini. Kuraih buku itu dan membawanya ke meja. Setelah duduk, aku membuka halaman pertama. Lalu pandanganku jatuh pada sebuah tulisan tangan yang ada di bagian pojok atas kertas itu.
“Tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta yang tak sudi takluk oleh waktu.”
Bukan tulisanku. Itu tulisan tangan Radit. Buku ini juga bukan miliknya, melainkan buku milik Radit. Dia yang membelinya beberapa tahun silam di toko buku, setelah kita selesai nonton di bioskop waktu itu.
Asal kalian tahu saja, dulu Radit tidak senang membaca. Dia justru lebih senang berbicara. Tetapi setelah kita resmi bersama, aku merubahnya menjadi Radit si penggila buku puisi. Bahkan hampir setiap bulan kita mampir ke toko buku untuk mencari stok buku puisi yang baru terbit.
“Mau donat nggak?” Rana baru saja tiba di kamar. Tangannya menenteng dua kantong belanjaan yang sudah pasti isinya cemilan semua. Namanya juga baru gajian. Pasti belanjanya suka lupa diri alias tidak pakai perhitungan.
“Boleh,” jawabku sambil mendorong kursi ke arah Rana. “Handphone lo bunyi terus tuh, dari tadi.”
“Oh ya? siapa yang nelpon?” ucap Rana sembari meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur.
“Oh, Edo.” Suaranya kembali terdengar. Namun tanpa menunggu waktu terlalu lama, Rana kembali melempar benda itu ke atas kasur. Ia menanggalkan ponselnya di sana, lantas mengalihkan fokusnya pada makanan yang ia beli tadi.
Rana meraih donat yang ada di dalam kotak. Sekarang ia sudah melahap makanan itu tanpa beban.
“Jadinya lo ketemu sama Juna di mana?”
Tentu aku belum bercerita tentang pertemuanku dengan Juna beberapa jam yang lalu. Iya, kita benar ketemuan. Sempat makan malam bersama pula. Juna bahkan mengantarku pulang hingga ke rumah kosan. Karena kita teman, dia harus memastikan aku pulang ke rumah dengan selamat katanya. Dan dengan mudahnya aku malah mengiyakan tawarannya.
“Tahu nggak kenapa sate madura disebut sate madura,” tanya Juna saat pesanan makanan kita sudah tiba di meja.
Kita sedang makan di angkringan, kalau saja kalian penasaran. Jadi, saat Juna membagikan lokasi kepadaku via whatsapp tadi, kupikir ia sedang berada di suatu tempat seperti sebuah gedung tinggi atau paling tidak di sebuah tempat makan sejenis restoran. Tetapi dugaanku ternyata salah. Juna justru menungguku di sebuah angkringan yang ada di pinggir jalan.
Ketika tiba di sana, aku melihatnya sedang asyik bercengkrama dengan penjual sate. Tempat itu tidak ramai. Hanya ada empat orang pengunjung saja, jika dihitung dengan Juna.
“Karena penjualnya orang Madura?” jelasku. Sebenarnya itu lebih terdengar seperti pertanyaan dibanding sebuah jawaban.
Juna tertawa. Mungkin lebih tepatnya, dia sedang menertawaiku. Karena pertanyaannya barusan, aku mendadak jadi kepikiran juga. Iya juga ya, kenapa sate madura disebut sate madura?
“Kata siapa? Nggak semua penjual sate madura, orang asli Madura, Gal. Contohnya Mas yang lagi ngipas sate di sana.” Juna menunjuk lelaki yang tadi mengantarkan makanan ke meja. Lelaki yang sama dengan yang berbicara dengan Juna saat aku baru tiba tadi.
“Dia itu bukan orang asli Madura. Dia justru orang asli Solo, yang memilih merantau ke Makassar setelah lulus SMA. Tetapi setahun setelah menikah dan punya anak, dia hijrah ke Jakarta dan memutuskan membuka usaha sate madura di sini.”
Aku menatap Juna tak percaya. Bagaimana bisa ia mengetahui sejarah panjang perjalanan hidup si pemilik sate madura yang sedang kita tempati makan sekarang? Aku semakin yakin, kalau dia itu memang lelaki aneh. Mungkin dia adalah penghuni planet lain yang tersesat di bumi.
“Nggak tahu,” ucapku lemas.
“Nggak tahu apa?” tanya Juna, mencondongkan tubuhnya ke depan meja.
“Nggak tahu jawabannya. Aku nggak tahu kenapa sate madura disebut sate madura. Memangnya kamu tahu?”
Dia malah nyengir. “Nggak tahu juga sih,” ucapnya. Tuh, kan. Dia memang aneh.
“Bentar, aku cari di wikipedia dulu,” lanjutnya lagi sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana.