Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #7

Lemper

Jatuh cinta seringnya tidak mengenal waktu yang tepat untuk kejadian. Seperti air hujan yang jatuh ke bumi. Jika sang pembuat skenario kehidupan sudah berkehendak, maka apapun bisa terjadi dalam sekali kedipan mata. Terlalu tiba-tiba, terlihat tidak terencana, tahu-tahu sudah jatuh saja. 

Tetapi seperti usia yang tidak kenal kata selamanya, dalam kehidupan, jatuh cinta juga mustahil mengenal kata tetap. Seperti Jakarta yang berubah, yang terlalu luas, yang semakin hari semakin kejam mengubur harapan-harapan.

Aku ingat, siang itu kita bertemu di depan sebuah minimarket yang ada di pinggir jalan raya. Aku duduk di salah satu kursi yang ada di teras tempat itu. Tanganku sedang sibuk membuka kemasan plester luka, sebelum akhirnya tiba-tiba saja seorang lelaki yang baru saja keluar dari minimarket menyapaku. 

Dia memegang belanjaan. Ada satu buah kantong plastik besar yang sepertinya berisi makanan. Dia menghampiriku, tersenyum dengan ramah, lalu mengajak bicara.

“Galuh, kan?” katanya.

Jelas aku kebingungan. Tentu wajahnya terasa asing di kepala. Dia siapa?

“Radit. Teman kuliah kamu,” ucapnya menjawab kebingungan yang ada di dalam benakku.

“Radit?” Aku malah dibuat takjub. Sungguh aku tidak percaya bahwa dia adalah Radit. “Astaga. Ini bener Radit ketua HMJ kita dulu?”

“Iya. Ini Radit ketua HMJ kamu dulu. Kamu apa kabar, Gal?” Radit menggeser kursi. Ikut duduk di sana.

“Baik. Kamu?”

Dia tersenyum lagi. “Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku juga baik.”

Aku mengangguk. Pandanganku masih juga tidak lepas dari sosok Radit yang ada di depanku sekarang.   

Tubuhnya yang tegap dengan otot bahu yang lebar, wajahnya yang tampak bersinar dan terlihat terawat, rambutnya juga rapi karena sepertinya sekarang Radit sudah tahu fungsi dari gel rambut itu untuk apa. Dan satu lagi, aku baru tahu kalau Radit memiliki senyum yang indah ternyata. 

Dimana Radit yang dulu? Kemana perginya Radit yang kurus, dekil dan rambut gondrongnya yang berantakan? Kenapa dia berubah banyak sementara aku terlihat sama saja dari waktu ke waktu. Bahkan setelah setahun lulus kuliah, tidak ada yang berubah dari penampilan dan juga bentuk tubuhku.

“Kerja di sekitar sini, Gal?” 

Lewat busana yang sedang kukenakan, tentu saja Radit bisa dengan mudah menebak jika Galuh yang ada di depannya sekarang adalah seorang budak korporat yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya hanya untuk perusahaan. 

Aku lantas menggeleng. “Nggak di sekitar sini banget sih. Tadi aku habis ketemu sama klien di gedung yang ada di depan sana,” jawabku sambil menunjuk gedung yang terletak di seberang jalan. “Terus mampir ke sini buat beli plester luka.”

Radit melirik plester luka yang ada di atas meja. Lalu matanya berpaling pada stiletto yang sudah kulepas dari kaki. Terdengar suara derit kursi yang bergesekan dengan lantai. Radit tahu-tahu sudah berjongkok di depanku sekarang. 

Aku memang belum sempat menempelkan plester luka pada kulit kakiku yang lecet karena Radit tiba-tiba datang dan menyapa.

“Ya ampun sampai lecet gini,” Radit berkata setelah memastikan luka pada kakiku. “Sini, biar aku yang bantu pasang plester lukanya.”

Suasana mendadak terasa canggung. Radit sudah meraih plester luka yang ada di meja. Dengan hati-hati ia memasangkan benda itu pada kedua tumit kakiku yang luka.

“Aku suka heran sama perempuan. Kenapa mereka senang sekali pakai sepatu hak tinggi padahal sudah tahu kalau resikonya akan membuat kaki mereka terluka. Kenapa tidak menggunakan sepatu yang nyaman saja. Pakai sepatu teplek pun, tidak akan membuat kecantikan mereka berkurang kok,” oceh Radit setelah memasang plester luka di kakiku.

“Cantik itu harusnya dari dalam, bukan hanya berfokus pada penampilan fisik belaka.”

Dan lucunya, karena ucapan itu, diam-diam di dalam hati aku memutuskan untuk tidak akan lagi mengenakan stiletto hingga membuat kakiku lecet dan berujung sakit. Persetan dengan berpenampilan menarik. Masa bodoh dengan argumen yang mengatakan bahwa perempuan terlihat seksi saat kakinya dibalut stiletto. Dan lupakan tentang penelitian yang mengatakan bahwa menggunakan stiletto berguna untuk memperbaiki otot-otot yang berkaitan dengan kemampuan orgasme perempuan. Seperti kata Radit tadi, cantik itu harusnya dari dalam bukan berfokus pada fisik yang pada kenyataannya akan memudar digerus usia. Buat apa cantik, kalau ujungnya malah menyiksa diri sendiri.

Setelahnya Radit mengajakku ke tokonya. Setelah lulus kuliah, ternyata ia membuka usaha kecil-kecilan. Dia memilih terjun ke bisnis clothing, membuat brand sendiri, dan usahanya lumayan sukses ternyata. 

“Jadi sekarang kamu kerja di bank?” tanya Radit setelah menyuguhkan teh hangat untukku. “Sudah berapa lama?”

“Baru sih. Sekitar lima bulan yang lalu mungkin. Iseng-iseng ngelamar. Eh tahunya malah keterima. Makanya jadi kerja di sana.” 

“Wah, hebat dong kamu. Sekali ngelamar kerja langsung diterima sama pihak perusahaan. Banyak lho Gal, yang udah ngelamar berkali-kali tapi nggak kunjung dapat panggilan. Mentok-mentok, berkas lamaran mereka malah ditumpuk saja di gudang.”

Aku menyambar teh yang sudah tersedia di meja. Menenggak beberapa teguk sebelum menjawab Radit. “Lebih hebat kamu nggak sih? Nggak nyangka banget aku, ternyata brand RAJ itu punya kamu ya ternyata.”

“Masih sementara merintis kok ini. Lebih banyak brand lokal yang lebih sukses dari aku.”

“Tuh, kan, merendah lagi.” Aku tersenyum. “Eh iya, kamu ingat nggak kalimat Bu Anjar dulu. Dia sempat ngomong kalau kamu itu nggak bakal sukses, karena pas kuliah kerjanya cuma demo terus. Kalau dia lihat kamu sekarang sih, dijamin bakal speechless. Harus kamu sombongin ke dia nih, biar dia nggak asal ngatain orang lagi. Baru jadi Dekan aja, udah berasa seolah dia Tuhan yang bisa meramal hari esok.”  

Radit malah tertawa. Padahal aku sungguh-sungguh sedang membelanya. Walau kita tidak begitu dekat saat kuliah, tapi karena Radit adalah ketua HMJ di kampus, aku lumayan tahu sedikit banyak gosip yang kadang beredar di seputaran ruang lingkup jurusan.

Lihat selengkapnya