Intinya hidup itu harus dihadapi, dinikmati dan disyukuri. Jangan gusar dan takut dengan segala cobaan hidup yang datang menghampiri. Karena semua itu justru akan membawa kita ke level yang lebih tinggi. Seperti halnya bagaimana tutug oncom yang tadinya hanya berasal dari butiran kacang kedelai dan kacang tanah, lalu berubah menjadi makanan yang enak dan lezat. Semua itu karena sebuah proses yang panjang. Harus melalui proses penggilingan, setelah itu dilanjutkan dengan proses fermentasi sehingga dari sanalah terbentuk oncom yang sebenarnya. Sekilas memang terlihat hancur secara fisik. Tapi sesungguhnya hal tersebut justru merubah wujudnya menjadi makanan yang lebih enak dan bermanfaat bagi manusia.
“Olahan makanan di Indonesia itu, sebenarnya tidak jauh dari olahan nasi,” jelas Juna sambil mengeluarkan barang belanjaannya dari kantong belanjaan.
“Setiap daerah memiliki olahan nasi dengan keunikannya masing-masing. Salah satunya nasi tutug oncom ini,” lanjutnya lagi.
Setelah beres mengeluarkan semua barang belanjaannya dari kantong, Juna berjalan menuju kulkas.
“Mau minum apa, Gal?” tawarnya.
Aku berpikir sebentar. “Apa aja, yang penting bisa melegakan tenggorokan.”
Juna tampak mengangguk, lalu menghampiriku dengan membawa dua buah minuman dingin bersoda. Sebelum memberikan minumannya kepadaku, ia membuka tutup kemasannya lebih dulu.
“Waktu tinggal di Sumedang, aku hampir setiap hari lho makan nasi tutug oncom.”
“Oh ya? Kamu pernah tinggal di Sumedang?”
“Dulu, waktu SMA. Pernah tinggal sebentar di rumah Bude,” jelas Juna.
Lelaki itu memutari meja pantry, menjauh dari bar stool setelah ia meneguk minumannya. Sudah ada oncom yang diletakkan di atas talenan kayu. Lalu dengan telaten ia memotong oncom itu menjadi beberapa bagian. Tidak terlalu tipis, namun tidak bisa dikatakan tebal juga. Jika diperhatikan dari cara Juna bergerak di dapur, sepertinya dia cukup lihai dalam urusan meracik bahan makanan.
“Biar oncomnya enak dan wangi, biasanya sebelum dicampur dengan bumbu, dipanggang dulu atau dibakar kayak gini.” Juna kembali bersuara. Tangannya sudah sibuk menata oncom di atas pemanggangan.
“Kamu seorang juru masak, ya?”
Juna terkekeh. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Karena kamu sepertinya cukup mahir dalam urusan mengolah bahan makanan. Selain juru masak, kayaknya jarang sekali ada seorang lelaki yang mahir di dapur.”
“Nggak juga.”
“Eh iya, bisa minta tolong kupas bawang putih sama bawang merahnya nggak, Gal,” pinta Juna, menunjuk bawang yang sudah ia sisihkan di dalam mangkok kaca.
Pengalaman siang ini benar-benar asing bagiku. Memasak bersama lawan jenis adalah sebuah agenda yang tidak pernah terlintas di dalam rencanaku. Dan melakukannya dengan Juna, lelaki yang tidak begitu dekat denganku, benar-benar adalah sebuah ide gila.
“Selain nasi tutug oncom, kamu bisa masak apa aja?”
“Memangnya kamu mau dimasakin apa?”
“Kok malah nanya balik, bukannya dijawab.”
“Nggak. Kali aja kan kamu pengen request. Nanti biar aku cari resepnya terus lanjut masakin buat kamu.”
Aku tak menanggapinya. Juna pun tidak lagi berbicara. Sebab lelaki itu sedang sibuk dengan oncom bakarnya yang sudah berubah warna menjadi coklat gelap, bahkan di beberapa sisi sudah ada yang terlihat gosong. Buru-buru ia mengangkat oncom itu dari pemanggangan, lantas memindahkannya ke dalam mangkok kaca.
“Sudah kamu kupas bawangnya, Gal?”