Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #9

Es Dawet

Di teras depan, langkahku tertahan setelah melihat sebuah mobil sedan putih berhenti tepat di depan rumah. Aku tidak mengenali mobil itu. Namun setelah pintu mobilnya terbuka, lalu seorang lelaki keluar dari sana, aku langsung tahu siapa pemilik mobil itu. 

Itu mobil Edo. Lelaki yang akhir-akhir ini gemar sekali mengusik kembali hidup Rana. Dan lihat, malam ini ia bahkan bersikap begitu manis dengan membukakan pintu mobil untuk Rana bak seorang pangeran yang mempersilahkan tuan putrinya untuk turun dari kereta kencana. 

Mereka berdua berdiri di depan pagar rumah. Saling berhadapan, sempat bertukar senyum dan juga bertukar obrolan. Aku tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Namun dari raut wajah Rana yang bersemu merah dan terlihat berseri-seri, aku yakin pembicaraan mereka mengandung bahagia.

Tidak, aku belum berbalik badan dan melangkah memasuki rumah kosan. Aku sengaja tertahan di teras rumah untuk mengamati mereka berdua dari kejauhan. Hingga Edo menyadari keberadaanku di sana. Dia melambai lantas tersenyum manis padaku, sebelum akhirnya lelaki itu kembali masuk ke dalam mobilnya dan berlalu pergi dari tempat tinggalku dan Rana.

“Kok lo pulangnya dianterin sama Edo?” tanyaku kepada Rana saat ia sudah tiba di teras rumah.

Senyum di wajah Rana masih juga belum surut. Entah hal membahagiakan apa yang dijanjikan Edo padanya hingga dia terlihat begitu bahagia malam ini.

“Tadi nggak sengaja ketemu lagi sama Edo di starbuck. Terus Edo nawarin tumpangan. Makanya dia nganterin gue pulang. Oh iya, lo habis dari mana, Gal?  Habis belanja, ya?” tanya Rana sembari melihat kantong belanjaan yang sedang kutenteng sekarang.

Aku memang baru saja pulang dari rumah Juna. Namun mari kita kesampingkan perihal lelaki itu dulu. Persoalan Rana dan Edo jauh lebih menarik untuk dibahas sekarang.

“Dan lo menerima tawaran itu dengan mudah? Na, dia itu masih berstatus suami orang. Kalau aja lo lupa tentang fakta yang satu itu.”

Rana berjalan lebih dulu. Tangannya merogoh kunci rumah yang ada di dalam tasnya. Tidak mengabaikan pertanyaanku tadi. Rana menolak untuk menjawabnya.

“Na, lo jangan gila. Emang lo mau jadi perusak rumah tangga orang. Jangan bilang, lo beneran bakal pilih Edo?”

“Na, lo denger gue nggak?” ucapku lagi, kali ini dengan suara yang lebih tinggi.

Pintu rumah sudah terbuka. Rana bahkan sudah melangkah memasuki rumah. “Rumah tangga mereka bahkan sudah rusak tanpa perlu gue rusak, Gal. Mereka cuma menunggu waktu saja untuk kemudian berpisah. Karena yang selama ini Edo butuhkan adalah gue. Bukannya perempuan itu. Dia hanyalah pelarian”

Langkahku terhenti di ambang pintu.  Rana memang sejak tadi sudah berbalik badan agar bisa bertemu tatap denganku saat ia memuntahkan jawabannya barusan. Matanya sudah berkaca-kaca, menahan air matanya agar tidak jatuh dan membasahi pipinya. Hilang sudah senyum yang semula menghias wajahnya.

“Gue yang korban di sini, Gal. Perempuan itu yang merebut Edo dari gue.”

Aku terdiam. Bukan perempuan itu yang merebut Edo dari lo, Na. Justru Edo yang memilih perempuan itu dan melepaskan lo dari rencana hidupnya yang indah itu. Karena dia tidak seyakin itu dengan hubungan kalian berdua. Dia tidak cukup lihai meyakinkan kedua orang tuanya kalau yang sebenarnya dia butuhkan itu, adalah elo, bukan istrinya sekarang. Kalimat itu hanya aku suarakan di dalam hati saja. Aku tidak ingin menyakiti Rana lebih dalam lagi.

“Mulai sekarang lebih baik kita urus hidup kita masing-masing ya, Gal,” ucap Rana dengan lirih. Tangannya lantas meletakkan sebuah kantong plastik yang sepertinya berisi dua buah cup kopi. 

Aku lantas mematung. Ketakutanku akan hidup Rana yang mungkin saja akan hancur karena Edo ternyata membuatku melewati ambang batas yang semestinya. Aku baru sadar, aku terlalu jauh ikut campur dengan persoalan hidup Rana. Dan itu jelas salah. Aku tidak berhak atas hidup orang lain.

“Pas pulang kantor tadi, gue nggak sengaja ketemu Radit di jalan.” Suara Rana tiba-tiba terdengar lagi. “Dia beli ini buat lo. Sebenarnya Radit udah titip pesan ke gue untuk nggak ngomong sama lo kalau es dawet ini dari dia. Tapi kayaknya lo harus tahu deh, Gal.”

Tidak sedikitpun Rana mengalihkan tatap dariku. “Radit kelihatan kacau banget hari ini. Wajahnya tampak lesu, matanya terlihat kurang tidur. Setelah selesai dari lo, mungkin dia kerja gila-gilaan untuk melampiaskan kesedihannya. Gue ngomong gini, karena kali aja lo penasaran sama kabar Radit setelah kalian putus.”

Rana menjeda kalimatnya. Namun tidak sedikit pun tatap matanya berpaling dari wajahku. 

“Gue nggak akan menghakimi pilihan lo, Gal. Tidak ada yang salah dengan pilihan lo untuk ninggalin Radit, untuk membuat hidup lelaki itu berantakan. Meski menyakitkan, tapi itulah pilihan yang paling baik menurut versi lo. Begitu juga dengan gue. Entah gue menjadi pelakor atau apapun itu sebutannya, lo nggak berhak ikut campur dan menilai hal itu salah atau menganggap gue gila. Ini dunia gue. Gue yang paling tahu harus ngapain. Soal benar atau salah, itu bahasan Tuhan. Lo nggak berhak menghakimi.”

Aku tertegun. Bahkan saat Rana sudah menghilang meninggalkan ruangan itu, tubuhku masih membeku di tempat. Mendadak rasa bersalah mengepungku seperti seorang tahanan. Lalu diam-diam aku melirik kantong plastik yang diletakkan Rana tadi di atas meja. Bahkan setelah berpisah sekalipun, Radit masih saja mengikutsertakan aku dalam setiap perjalanannya.

“Itu namanya tradisi dodol dawet, Gal,” ucap Radit saat kita di nikahan Akas dan Intan. Sepupu Radit yang ada di Solo.

“Tradisi dodol dawet?” tanyaku kebingungan.

“Iya tradisi dodol dawet. Masyarakat Jawa menyebutnya seperti itu. Bisa diartikan dengan berjualan dawet. Tapi bayarnya bukan pakai uang melainkan bayar pakai kreweng. Kreweng itu pecahan benda yang terbuat dari tanah liat. Bisa juga bayarnya pakai pecahan genteng. Di keluargaku dodol dawet ini masih menjadi salah satu bagian yang tidak boleh terlewat dalam prosesi pernikahan. Unik kan, Gal?”

Aku mengangguk-angguk. Baru kali ini aku menyaksikan prosesi seperti dodol dawet yang Radit sebut barusan. Lumayan, datang ke nikahan, bisa sekalian dapat ilmu baru juga.

“Eh, ke sana yuk. Kita ikutan beli dawetnya juga. Entar malah nggak kebagian,” ucap Radit sambil menyeretku menuju kerumunan orang-orang yang sedang sibuk membeli dawet.

Ada banyak sekali tawa yang silih berganti masuk melalui telinga. Ada banyak sapaan pula yang begitu ramah seolah menganggap aku ini juga sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Keluarga besar Radit memang begitu baik. Apalagi kedua orang tuanya yang sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.

Radit memberikan satu cup dawet yang baru saja ia beli. Di tangannya pun sudah ada satu cup untuk dirinya sendiri. Kita berdua menikmati minuman itu sambil duduk bersebelahan di kursi.

Ada sensasi kenyal dan lembut dari tepung beras. Rasa manis dan gurih dari gula cair dan juga air santan. Benar-benar cocok untuk disantap sebagai pelepas dahaga dikala panas terik seperti sekarang ini.

“Ya ampun, mantunya Mama kok, ayu tenan. Galuh apa kabar?” ucap Tante  Ambar, dengan suaranya yang lembut dan merdu. Jika saja dia memilih terjun ke dunia tarik suara, aku yakin sekali akan ada banyak penggemar yang mengagumi suaranya. Dia itu mamanya Radit. Wajah keduanya benar-benar mirip seperti saudara kembar.

“Baik Tante,” jawabku, pun sambil membalas senyumnya.

Lihat selengkapnya