Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #10

Gudeg

Aku sudah tiba di depan rumah sakit. Masih terlalu pagi. Tetapi tidak membuat tempat itu sepi pengunjung. Hilir mudik kendaraan tampak sibuk sejak tadi. Tidak pernah berhenti. Seolah tempat ini memang didesain khusus untuk tidak pernah istirahat walau sedetik.

Kakiku berjalan pelan melintasi taman. Sudah semacam ritual. Setiap tahun, aku pasti akan mengunjungi tempat ini sambil membawa bingkisan kue. Dan kali ini, sudah memasuki tahun keenam. Betapa waktu begitu cepat berlalu. Sedang rasa bersalah itu tak juga kunjung berhenti mengganggu. 

“Mbak Galuh,” sapa seorang perawat yang baru saja tiba di lobi rumah sakit. Dia berhenti melangkah saat melihatku. “Apa kabar, Mbak?” lanjutnya lagi.

Aku tersenyum. “Baik. Sudah mau pulang, ya?” 

“Iya nih. Saya kebagian shift malam. Sekarang sudah gantian shift sama perawat yang tugas pagi.”

Aku mengangguk. “Eh iya, ini ada sedikit kue untuk dibawa pulang dan dimakan bersama keluarga di rumah,” ucapku sambil mengeluarkan kotak kue dari kantong plastik besar yang sedang ku pegang. Aku mengulurkan kotak kue itu kepada perawat yang ada di depanku.

“Ya ampun jadi ngerepotin gini.”

“Nggak ngerepotin kok. Memang saya sengaja bawa ke sini buat dibagikan ke perawat rumah sakit yang lagi bertugas.”

Perawat yang kuketahui bernama Indah itu akhirnya menerima kotak kue yang kuulurkan padanya. “Terima kasih kuenya ya, Mbak Galuh,” jelasnya sebelum pamit dan berlalu pergi.

Perawat senior seperti Mbak Indah ini, pasti sudah tahu persis dengan kebiasaanku setiap tahun. Selalu rutin, tidak pernah absen walau sekali. 

Dengan sedikit kerepotan, aku memasuki rumah sakit. Langkahku bergerak menuju meja resepsionis. Aku berdiri di sana, menunggu perawat yang sedang berjaga selesai menerima panggilan telepon.

“Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” ucapnya ramah. Dilihat dari wajahnya, perempuan itu pasti perawat baru di rumah sakit ini.

“Ini, saya mau–” Kalimatku tertahan, karena seorang perawat lain hadir dan menyambutku dengan senyum ramah.

“Mbak Galuh,” sapanya.

Itu Suster Eka. Perawat yang dulunya merawat Ibu saat sakit. “Mbak Galuh apa kabar?” lanjutnya dengan suara ceria.

Meski hanya sebatas perawat dan keluarga mantan pasien, hubunganku dengan Suster Eka memang lumayan dekat. Bahkan dulu kita sempat bertukar nomor telepon dan beberapa kali ngobrol via telepon layaknya seorang teman dekat. 

“Baik, Sus. Kalau Suster Eka apa kabar?”

“Ya begini-begini aja. Saya harus baik. Soalnya ada banyak pasien yang butuh bantuan saya. Oh iya, Mbak Galuh ada perlu apa datang kemari? Ada keluarga yang sakit?”

Aku lantas menggeleng. “Ini, saya cuma mau membagikan sedikit kue saja buat perawat yang lagi bertugas.”

Suster Eka mengerutkan alis. Buru-buru ia melirik kalender yang ada di meja resepsionis. “Oh iya, hari ulang tahunnya Ibu, ya, Mbak?”

Aku lantas mengangguk. Ada perasaan haru dan bahagia yang tidak bisa diutarakan lewat kata-kata saat kalimat barusan tercetus dari bibir Suster Eka. Inilah alasan kenapa aku suka berkunjung ke rumah sakit ini setiap tanggal 30 april. Sebab ada ingatan yang tidak ingin kubiarkan tergerus oleh waktu. Dan kebahagiaan itu semakin bertambah jumlahnya ketika aku bertemu dengan orang lain yang juga mengingat Ibu dengan sedemikian baik di dalam ingatan mereka.

“Iya, Sus.”

“Sudah enam tahun berlalu ya, Mbak. Pasti Ibu sudah bahagia sekali di tempat barunya sekarang.”

Kedua bola mataku sudah berkaca-kaca. Mungkin sebentar lagi akan banjir, membentuk lautan air mata di pipi. Ingatan tentang Ibu tidak pernah membuatku baik-baik saja. Selalu ada sesak yang menekan dadaku hingga rasanya aku kesulitan bahkan untuk sekedar mengambil napas.

“Yah, Ibu pasti sudah bahagia di sana.”

“Jadi kue-kue ini mau dibagikan ke perawat yang lagi bertugas?” tanya perawat yang bertugas di bagian resepsionis.

Aku mengangguk. “Iya, buat dimakan sama yang lain.”

“Saya boleh minta bagian dua kotak kan, Mbak? Kebetulan ini kue kesukaan saya,” ucapnya lagi.

“Tentu. Kamu boleh ambil berapapun yang kamu mau asal kuenya dihabiskan, bukannya dibuang,” jelasku setengah bercanda.

“Pasti saya habiskan, Mbak. Tenang saja.”

Mendengar itu, aku benar-benar lega. Semoga di tempat barunya, Ibu juga ikut senang.

“Kalau gitu, saya pamit pulang ya. Terima kasih karena tidak pernah bosan menerima saya di sini.”

“Tentu, Mbak. Kita akan selalu menerima Mbak Galuh. Kapanpun Mbak Galuh pengen datang ke sini, yah silahkan datang saja. Jadi jangan pernah merasa sungkan untuk mampir ke sini. Asal jangan kesal saja kalau kita-kita ini malah kebanyakan sibuk ngurus pasien. Rumah sakit membuat kita tidak memiliki cukup waktu luang soalnya.”

Aku tertawa. Mengiyakan ucapan Suster Eka barusan.

***

Lihat selengkapnya