Hari minggu selalu menjadi waktu paling strategis untuk menikmati acara televisi sambil ngemil makanan buatan Ibu. Tak lupa, Ibu juga akan menyuguhkan segelas teh hangat ataupun kopi untuk dinikmati bersama.
Akan ada banyak obrolan yang tercipta antara aku, Ibu dan juga Bapak. Mulai dari resep masakan baru yang Ibu dapatkan dari internet, perihal gosip artis yang terlihat tidak ada habisnya, harga beras yang melonjak naik di pasar, atau bahkan bisa sampai merambah ke dunia politik yang kadang malah memusingkan kepala.
Bila Ibu lihai dalam hal meracik makanan hingga membuat lidah kita dimanjakan saat menikmatinya, maka Bapak justru mengambil peran untuk membuat kita berdua tertawa bahagia. Bapak senang sekali bercanda, dia begitu lihai mencairkan suasana hingga kita betah berlama-lama dengannya. Kalau sudah bersama Bapak, aku dan Ibu kadang bisa sampai lupa waktu. Mungkin karena itu juga, kenapa Ibu jadi begitu jatuh cinta padanya. Sebab Bapak, bisa menghipnotis orang lewat kata-kata yang ia lontarkan dari mulutnya.
Namun, itu potongan ingatan sebulan yang lalu. Sebelum akhirnya Ibu jatuh sakit dan mendadak harus dirawat di tempat yang memiliki bau yang khas ini. Ada bau karbol, sejenis desinfektan yang berasal dari ekstrak getah pohon pinus. Katanya sih, untuk membunuh kuman dan virus. Aroma yang membuat orang enggan untuk berkunjung ke rumah sakit.
Hari ini tepat sebulan Ibu terbaring di tempat tidur yang sama, persis di ruangan yang sama pula. Tidak ada yang berubah, selain bentuk tubuh Ibu yang semakin hari semakin menyusut saja. Berat badannya merosot turun. Entah apa yang sudah begitu kejam melahap daging-daging yang dulunya menghuni tubuh Ibu.
Sakit di sekujur tubuhnya masih terasa dengan sangat jelas. Beberapa kali Ibu bahkan mengeluh sakit dan lelah.
Sial. Alih-alih mengobati Ibu, aku justru hanya bisa memberinya sebuah potongan kalimat indah seperti: Ibu pasti sembuh. Setelah ini Ibu pasti sehat. Percaya sama Galuh. Jadi Ibu harus sabar. Harus kuat.
Tidak. Tidak ada yang pasti di dunia ini selain mati. Dan tidak ada yang patut dipercaya selain Tuhan. Aku membual, dengan dalih yang sulit dicerna otak. Padahal Ibu tidak butuh dongeng, dia butuh pertolongan untuk sakit yang dideritanya.
“Malam ini tidurnya bareng Ibu saja, ya?” ucap Ibu saat aku baru saja keluar dari kamar mandi.
Di luar langit sudah gelap. Sudah pukul sembilan malam. Ibu juga harusnya sudah tidur karena obatnya sudah diminum dari beberapa waktu yang lalu.
“Galuh kan memang selalu tidur bareng sama Ibu di sini.”
“Maksud Ibu di sini,” ucapnya sambil menepuk ruang kosong di sisi tempat tidurnya. “Ibu rasanya pengen tidur sambil meluk kamu malam ini.”
Alisku menukik. “Tumben. Kangen ya tidur sambil meluk Galuh,” jawabku disertai senyum menggoda ke arah Ibu.
Mungkin beberapa puluh tahun yang lalu? Ketika seorang Galuh masih kecil dan kanak. Ibu senang sekali memelukku sambil berbaring dan membacakan cerita dongeng yang berbeda di setiap malamnya. Sebab cara itu adalah cara paling ampuh untuk membuatku tidur lebih cepat.
Sudah lama sekali. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali Ibu memelukku sambil berbaring seperti itu.
“Iya. Ibu kok kangen kamu ya, padahal setiap hari kamu selalu di sini nemenin Ibu sepanjang waktu.”
Oh… Kenapa malam ini berubah menjadi penuh drama. Aku buru-buru bergegas menuju kaca jendela. Aku menarik tirainya agar pemandangan yang ada di luar sana tidak lagi terlihat oleh aku dan juga Ibu. Setelahnya, langkahku bergeser ke sisi tempat tidur Ibu. Sudah malam, sudah waktunya untuk terlelap.
“Tapi kalau ketahuan perawat, kita bisa kena tegur lho, Bu. Inikan ranjang pasien bukannya ranjang orang sehat kayak aku.”
“Kalau sudah jam segini memangnya ada perawat yang bakal masuk ke ruangan?”
Aku menggeleng. Setelah memberi obat untuk jatah malam, perawat biasanya tidak masuk ke ruangan kita lagi kecuali ada hal yang mendesak. Seperti ketika kondisi pasien memburuk misalnya. Dan beberapa waktu yang lalu, perawat sudah datang untuk memberikan obat dan juga memeriksa kondisi Ibu.
“Paling perawatnya datang besok pagi. Sudah, sini. Ibu pengen tidur bareng kamu,” ucap Ibu lagi. Kali ini terdengar ngotot. “Ibu benar-benar lagi pengen tidur sambil meluk kamu.”
Aku hanya bisa mendesah. Tidak ingin membuat Ibu kecewa, akhirnya aku menuruti keinginannya.
“Apa kata Bapak? Jadi dia datang besok pagi?” tanya Ibu setelah aku berbaring di sisinya.
“Jadi kok, Bu. Bapak akan berangkat dari Surabaya pakai pesawat penerbangan pagi. Karena cutinya ada dua minggu, jadi Bapak bisa lama-lama di sini.” Setahun yang lalu, Bapak memang dipindah tugaskan di luar Jakarta. Hal itulah yang membuat dia tidak bisa stay di sini untuk menjaga Ibu yang sedang sakit. Lagipula kita butuh uang untuk makan pun untuk biaya pengobatan Ibu. Bila Bapak berhenti bekerja, pasti keadaannya akan jauh lebih buruk dari sekarang. Toh, masih ada aku yang bisa menjaga Ibu. Biar Bapak fokus mencari nafkah saja.
“Syukurlah kalau begitu,” ucap Ibu, masih dengan senyum yang sama. Padahal berat badan Ibu sudah menyusut drastis. Tetapi kenapa senyumnya masih meneduhkan seperti ini? Aku selalu cemburu dengan wajah Ibu yang masih saja terlihat cantik bahkan ketika dia sedang sakit.
“Ibu itu suka kesal.”
“Kenapa? Galuh ada bikin Ibu kesal, ya?”
“Habisnya di rumah kita cuma ada satu laki-laki. Kalau Bapak kamu lagi jauh begini, kamu jadi tidak ada yang jagain.”
Aku terkekeh. “Lho aku kan udah besar, Bu. Sudah dewasa. Sudah bisa jaga diri juga, nggak perlu dijagain sama Bapak lagi. Lagian Ibu kok ngomongnya gitu. Memangnya Ibu mau punya suami lagi?”
Ibu mendesah panjang. Dia menepuk-nepuk tanganku menggunakan jemarinya yang kurus. Ada hangat yang dihantarkan oleh kulit tangannya.
“Maksud Ibu, kamu yang nikah. Bukannya Ibu yang menikah lagi.”
Kulihat bibir Ibu sengaja dimonyongkan. Dia membuat ekspresi kesal yang malah membuatku semakin gemas untuk mencium pipinya.
“Nikahnya entar dulu, Bu. Galuh masih muda. Baru juga lulus kuliah. Masih mau ngejar karir dulu sebelum fokus jadi ibu rumah tangga kayak Ibu.”