Sudah dua pekan berlalu. Sejak dimana aku dan Rana saling adu debat karena dia yang kembali berhubungan dengan Edo. Dan sejak itu pula, kita tidak saling bicara. Rumah menjadi tempat asing bagi kita berdua. Bahkan Rana memilih untuk tidur di kamar lain, padahal aku tahu dia sangat takut tidur sendirian.
Cinta merubah tingkah laku. Edo berhasil merenggangkan hubunganku dengan Rana. Tapi mau bagaimana lagi, rasa cinta Rana terhadap Edo, jauh lebih besar dibanding rasa sayangnya terhadapku.
Sudah pukul sembilan malam, namun Rana tak juga kunjung pulang ke rumah kontrakan. Ke mana perginya? Apakah malam ini dia lembur kerja?
Aku penasaran, atau mungkin lebih tepatnya aku mengkhawatirkan Rana. Namun enak saja kalau harus aku yang menghubungi dia duluan.
Kembali, aku meletakkan ponsel genggamku. Mengurungkan niatku untuk menghubungi Rana. Mataku sudah terpaku pada deret kalimat yang ada di layar macbook. Cerita fiksi yang kubicarakan dengan Rana tempo hari, sekarang sudah ada kemajuan. Sudah ada beberapa bab yang berhasil kutulis.
Dan tentang nasi tutug oncom yang tempo hari Juna masak untukku, aku memasukkan resep itu di dalam cerita yang sedang kurangkai sekarang. Tidak kuberi tahu Juna. Tentu saja resep itu kuambil diam-diam darinya.
Tiga puluh menit kemudian terdengar suara pagar rumah yang dibuka. Itu pasti Rana, Aku mencoba mengecek lewat kaca jendela yang ada di kamar. Dan iya, itu Rana. Tapi malam ini ada yang berbeda darinya. Rana pulang diantar ojek online bukan diantar oleh Edo.
“Gal.” Terdengar suara Rana setelah pintu kamar terbuka dengan lebar. Padahal aku baru saja mendengar suara pagar yang berderit. Apakah Rana berlari memasuki rumah hingga tiba di sana dengan sangat cepat?
“Galuh,” panggilnya lagi. Kali ini dengan suara yang lebih kencang.
Perlahan aku memutar kepala untuk kemudian menengok ke arahnya. “Ya, kenapa?” jawabku singkat.
“Udah makan malam belum? Gue beli kerak telor dua porsi nih. Makan bareng yuk,” ajaknya to the point. Setelah itu, Rana menghilang dari ambang pintu.
Aku masih memandang ke depan sana. Pada tempat di mana Rana tadinya berdiri sambil memasang wajah datar. Sebenarnya aku sudah makan malam. Sudah membeli nasi padang via go-food. Tetapi masa iya aku menolak rejeki. Kapan lagi ditraktir Rana malam-malam begini. Kerak telor pula. Sudah lama aku tidak menyantap makanan yang satu itu.
Buru-buru aku menonaktifkan macbook. Lalu bergegas menuju meja makan di mana Rana sedang sibuk membuka bungkus makanannya.
Aku pernah membacanya di sebuah artikel yang ada di internet. Katanya, kerak telor itu diciptakan pada tahun 1920-an. Berawal dari sekelompok masyarakat Betawi yang tinggal di Menteng, Jakarta Pusat.
Kelapa yang berlimpah di daerah tersebut diolah menjadi beraneka ragam makanan. Salah satunya ya kerak telor ini. Pada zaman Belanda, makanan tersebut tergolong mahal dan hanya bisa dimakan oleh masyarakat kelas atas.
Tetapi pada tahun 1970-an, kerak telor mulai dijajakan di sekitar Monas. Supaya bisa dinikmati semua kalangan, masyarakat betawi mulai memberanikan diri untuk menjual kerak telor dengan harga terjangkau. Bahkan Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, pun ikut serta mempromosikan kerak telor hingga membuat jajanan itu mudah dijumpai di beberapa daerah di kota Jakarta.
“Habis lembur, Na?” tanyaku memulai percakapan.
Kita sudah duduk berhadapan. Rana bahkan sudah menikmati kerak telor miliknya.
“Enggak kok. Nggak lembur.” Rana menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Tangannya bergerak untuk menjangkau air minum yang tidak jauh dari piringnya. Beberapa teguk mengaliri tenggorokannya. “Cuma tadi habis ketemu sama Edo dulu sebelum pulang ke kosan.”
Tidak ada raut bahagia pada wajah Rana saat ia menyebut nama Edo. Malah aku melihat ada semburat kesedihan yang kini menggantung di kedua bola matanya.
“Are you okay?” tanyaku pada Rana.
Rana tidak menjawab. Melainkan mencubit kerak telor miliknya dan menyuapkannya ke dalam mulut. Ruangan mendadak senyap. Aku pun memilih untuk tenggelam dalam diam.
Kelapa sangrai, kencur, cabai merah, sereh, merica, kunyit, jahe, garam, serta gula pasir. Bumbu halus pada kerak telor yang mampu menghasilkan rasa yang manis, gurih dan sedikit asin.
Ruangan masih diisi hening. Bahkan pada suapan kerak telor terakhirku, Rana tetap saja diam dan tidak mengajakku bicara. Ada apa gerangan di dalam benaknya sekarang? Apa yang Rana pikirkan? Apa yang membuat wajah bahagianya surut malam ini.
Air minum yang ada di gelas itu sudah sepenuhnya tandas. Aku lantas beranjak menuju wastafel. Membawa gelas minumku dan juga bungkus kerak telor untuk dibuang ke tempat sampah. Setelah mencuci gelas dan juga mencuci tangan, aku kembali ke meja makan. Tetapi saat tiba di sana, malah Rana yang gantian pergi ke pantry.
“Juna gimana?” suara Rana tiba-tiba terdengar saat aku sudah hendak pergi meninggalkan meja makan. Terpaksa langkahku tertahan. “Masih sering ketemu dia tanpa rencana?” lanjut Rana.
“Ya gitu deh, Na. Terakhir, kita ketemu di rumah sakit. Ternyata dia itu seorang dokter.”
“Oh, ya?” Sama sepertiku tempo hari, Rana juga tampak terkejut dengan fakta barusan.
“Iya. Dia itu ternyata seorang dokter.”
“Terus, terus,” ucap Rana tampak bersemangat. Wajah muramnya tadi, kini sudah perlahan surut. Sepertinya Rana benar-benar ingin tahu cerita perihal Juna. Bahkan sekarang dia sudah menyeretku kembali ke kamar.
“Ya nggak gimana-gimana.”
Rana yang kini duduk di tempat tidur, sontak mengerling ke arahku. “Masa sih nggak gimana-gimana? Emang lo udah ketemu sama dia berapa kali?”