Seperti janjinya semalam, Juna benar-benar menjemputku tepat pukul tujuh pagi di rumah kosan. Dia datang menggunakan mobil. Lalu kita sama-sama berangkat menuju pasar.
Hari ini jalan raya bebas hambatan. Tumben-tumbenan Jakarta tidak macet seperti biasanya. Apakah ini juga bagian dari cara kerja semesta yang mendukung kedekatanku dengan Juna?
“Nah, sampai deh kita.” Suara Juna terdengar bersamaan dengan laju kendaraannya yang memelan. Dia sudah menepikan mobil di area parkir. Setelah beres, Juna mengajakku untuk turun bersama.
Semenjak menjadi karyawan di salah satu perusahaan perbankan yang ada di Jakarta, aku hampir tidak pernah lagi menginjakkan kaki di tempat yang disebut pasar tradisional. Bukan tidak minat, hanya saja jadwal kerja yang tidak manusiawi, membuatku kehilangan waktu untuk sekedar menyapa tempat itu.
Dulu, sewaktu masih sekolah dan kuliah, aku sering sekali menemani Ibu ke pasar. Ibu senang ke sana karena katanya sayur dan juga ikannya segar-segar. Selain itu bisa ditawar pula. Dasar ibu-ibu.
“Kamu biasanya ke pasar bareng siapa?” tanya Juna setelah kita sudah memasuki area pasar.
“Bareng sama Ibu sih, biasanya. Tapi udah lama juga nggak ke pasar. Terakhir enam tahun yang lalu. Pas Ibu masih ada,” ucapku sambil menyamakan langkah dengan Juna.
Dia tidak menanggapi. Justru sibuk memilih-milih sayuran. Ada kangkung, tauge, kacang panjang, Juna juga mengambil beberapa bahan perbumbuan seperti bawang merah, bawang putih, lengkuas, kencur, dan bumbu-bumbu lainnya.
“Makasih ya, Bu,” ucapnya setelah membayar barang belanjaannya kepada penjual sayur tersebut.
Aku membiarkan Juna berjalan lebih dulu. Dan ketika berada di belakangnya, tatapku tak juga surut dari punggungnya yang terlihat tegap. Walau tidak bisa dipungkiri, jika bentuk punggung Radit tetap jauh lebih oke dibandingkan postur tubuh Juna. Mungkin karena Radit rutin olahraga. Selain itu, tinggi badannya juga melebihi batas tinggi badan Juna yang hanya berbeda sedikit dengan tinggi badanku. Tetapi, mari kita kesampingkan Radit dulu sekarang. Hari ini hariku dengan Juna. Radit tidak lebih dari masa lalu belaka. Dan jangan sampai dia diikutsertakan juga pada bagian cerita di masa sekarang.
Jika dilihat-lihat lagi, jujur saja Juna mengingatkanku dengan sosok Ibu. Ibu dan Juna sama-sama pintar memasak. Ibu dan Juna sama-sama pernah memasak makanan untukku. Ibu dan Juna juga sama-sama pernah memintaku untuk menemaninya ke pasar berbelanja bahan makanan. Dan apakah ini juga salah satu bentuk hadiah dari Tuhan? Seperti halnya kehadiran Rana dan juga Radit di kehidupanku. Jika iya, aku hanya ingin memohon satu hal. Tolong biarkan hubungan kita tetap seperti ini. Tolong biarkan kita jalan di tempat tanpa perlu ke mana-mana lagi.
“Jajan dulu di sana yuk, Gal,” ajak Juna sambil meraih tanganku. Entah ia spontan melakukan itu atau memang ingin melakukannya saja. Satu hal yang pasti. Saat kulit tangan Juna bertemu dengan kulit tanganku, aku merasakan gemuruh aneh di jantungku. Perasaan ini familiar. Aku pernah merasakannya saat dulu bersama Radit.
Dia mengajakku ke penjual kue dengan berbagai macam pilihan. Tetapi kali ini, Juna menjatuhkan pilihannya pada getuk lindri. Setelah membeli beberapa porsi getuk, Juna izin meminjam kursi plastik milik penjual, lalu mengajakku untuk duduk di sana.
“Yang bikin senang belanja di pasar itu, ya karena ada banyak sekali jajanan yang bisa bikin perut kenyang,” jelas Juna sambil memasukkan getuk ke dalam mulutnya. “Kadang kalau habis ke pasar, pulangnya aku malah nggak jadi masak. Soalnya udah keburu kenyang duluan gara-gara belanja cemilan.”
“Udah ketebak sih. Kamu kan orangnya suka banget jajan,” ucapku sambil tertawa lepas.
Riuh suara orang-orang semakin jelas terdengar. Begitu pula dengan suara kendaraan yang tidak pernah ada putusnya. Tempat itu semakin ramai, semakin riuh, semakin sesak. Tetapi berbeda dengan macet jalan raya yang kadang kala membuatku ingin cepat-cepat berakhir. Di tempat ini, aku justru tidak ingin waktu cepat beranjak pergi.
“Kalau ke pasar kamu biasa jajan apa aja?” tanya Juna kepadaku. Kali ini dia melahap kue lapis.
“Karena setiap kali aku ke pasar pulangnya pasti selalu dehidrasi, aku jadinya lebih sering jajan yang seger-seger sih dibanding yang bikin perut kenyang. Favoritku es selendang mayang sama es cendol. Kadang juga dibelikan es pisang ijo sama Ibu.”
Juna tersenyum. “Kayaknya kalian dekat banget, ya,” ucapnya sambil menggigit dadar gulung, kue terakhir yang ia beli di penjual kue.
Obrolan kita berhenti di sana. Sebab setelahnya Juna mengajakku bergeser ke penjual ikan. Juna berjalan lebih dulu, dengan tangan kanannya yang memegang kantong belanjaan serta tangan kirinya yang memegang tanganku. Lagi-lagi bayangan Ibu muncul tiba-tiba. Perlakuan Juna hari ini mengingatkanku dengan dia. Sudah lama sekali suasana romantis seperti ini tidak kurasakan. Juna berhasil mengisi penuh ruang kosong yang selama ini berdebu semenjak kepergian Ibu.
***
Terik sudah semakin terasa ketika aku dan Juna tiba di apartemennya. Sudah pukul sepuluh. Walau hanya berkeliling untuk berbelanja bahan makanan, ternyata kita menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam lamanya di sana.
Oh iya, saat hendak pulang tadi, Juna membelikanku es cendol di pasar. Lebih tepatnya dia membeli dua porsi es cendol untuk kita berdua. Tapi tetap saja aku senang dengan perlakuan itu. Juna peka sekali seperti Ibu.
“Jadi menu makan siang kita hari ini apa?” tanyaku kepada Juna saat ia sudah mengeluarkan barang belanjaan yang dibelinya tadi ke meja pantry.
“Ikan bakar gurame, nasi putih panas, plus hidangan urap sayur. Makan siang hari ini ala rumahan aja ya. Dan semoga kamu suka.”
“Serius? Wah, emang udah lama banget aku nggak makan ikan bakar dan urap sayur.”
Itu tidak modus. Melainkan memang fakta yang sebenarnya terjadi. Aku sudah lama sekali tidak makan ikan bakar. Terakhir, mungkin sekitar sepuluh bulan yang lalu. Saat aku dan Radit liburan di Jimbaran.
“Doain aja, semoga rasanya sesuai sama lidah kamu,” jelas Juna sambil bergeser ke wastafel. Dia mengurus ikan yang tadi di belinya di sana.