Waktu di layar ponselku sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Tetapi Rana tak juga kunjung datang. Apalagi yang terjadi padanya? Apakah ini berkaitan dengan Edo?
Karena tak sabar menunggu, juga sudah terlalu lelah dengan perasaan khawatir yang membuat kepalaku ingin meledak, buru-buru aku meraih ponsel yang ada di kasur. Aku mengetik sebuah pesan whatsapp. Tertera nama kontak yang dituju. Rana.
Na, kok belum pulang? Lembur lagi kah?
Aku meletakkan kembali ponsel itu di atas kasur. Lalu melangkah menuju meja kerja yang ada di dekat jendela kamar. Bokongku sudah mendarat di kursi. Tatapku kini berganti menatap deret huruf yang ada di layar macbook.
Selang semenit kemudian, ponselku berdering pendek. Sebuah pesan baru saja mendarat di sana. Tanpa menunda waktu, tubuhku secepat kilat menyambar benda pipih itu. Ada balasan dari Rana. Namun kali ini bukan pesan yang berisi kalimat penjelasan, melainkan sebuah foto yang memuat potret seorang lelaki.
Siapa lelaki itu? Apakah pacar baru Rana? Atau gebetan? Atau rekan kerja? Seperti lagu yang terus diputar tanpa henti, pertanyaan itu mengalun tanpa jeda di setiap detik.
Ponselku kembali berdering pendek lagi. Tapi kali ini bukan dari Rana. Melainkan pesan whatsapp dari Juna. Belum kubuka. Tetapi sudah kubaca lewat pop up notifikasi di ponselku.
Juna
Besok kamis, nih.
Aku jemput ya.
Kita kulineran lagi.
Senyumku langsung terbit. Setiap kali nge-chat untuk mengajak jalan, Juna memang terkesan seperti memaksa bukannya meminta persetujuan lebih dulu. Tetapi entah kenapa aku malah suka.
Lagi-lagi ponselku berdering pendek. Dan kembali pesan dari Juna muncul di pop up notifikasi. Begini isi pesannya: Sudah tidur, ya?
Tak ingin membuatnya menunggu, aku membuka aplikasi whatsapp. Tanganku mengetik balasan: Apa coba konotasinya hari kamis dengan kulineran?
Selang beberapa saat, masuk lagi balasan dari Juna: Oke, aku jemput setelah selesai operasi pasien. Agak siangan gapapa kan, ya?
Aku mendengus. Namun tetap mengetik balasan pesan untuk Juna. “Dasar tukang maksa” dan lanjut merebahkan tubuh di kasur. Pandanganku tertumbuk pada langit-langit kamar yang berwarna putih namun kini sudah tampak kumuh dan memudar.
Mendadak wajah Juna muncul di sana. Membawaku kembali pada percakapan tempo hari saat kita makan siang bersama di apartemennya.
“Sejak kecil aku sudah ditinggal Ayah, Gal. Kalau tidak salah saat itu usiaku masih enam bulan. Ya, kata ibuku, dia pergi meninggalkan kita saat aku masih usia enam bulan.” Air muka Juna sempat berubah. Namun hanya sebentar. Kulihat lelaki itu sudah semangat lagi untuk melanjutkan ceritanya.
“Makanya Ibu banting tulang buat menghidupi dirinya dan aku. Dia jarang banget di rumah, sibuk kerja terus. Hingga tiba di satu momen, Ibu jatuh sakit. Di situ aku panik sekali. Tetapi untungnya, kita memiliki tetangga yang kebetulan berprofesi sebagai seorang dokter. Berkat bantuan dari dia, Ibu bisa sembuh dan sehat kembali seperti sedia kala. Dari situ aku tertarik untuk jadi dokter.”
Aku melihat ada binar bahagia di kedua matanya. Juna cepat-cepat menyelesaikan suapan terakhirnya.
“Kalau kamu, pekerjaanmu apa, Gal?”
“Kamu bakal kaget banget sih, kalau tahu pekerjaanku apa,” jelasku dengan tangan yang sudah sibuk membersihkan meja.
Juna sudah selesai makan. Begitu pula denganku. Dan karena Juna sudah banyak bekerja untuk membuat hidangan yang sungguh nikmat hari ini, aku berinisiatif untuk mencuci piring.
Saat tiba di wastafel dan meletakkan piring kotor di sana, Juna ternyata ikut serta mengikutiku dari belakang.
“Di situ aja Gal, biar aku yang cuci nanti,” ucap Juna saat melihatku sudah meraih sabun cuci piring.
“No. Ini bagian aku. Udah kamu sana aja. Istirahat. Tadikan udah capek masak. Sekarang gantian aku yang beres-beres.”
Kulihat Juna terkekeh pelan. Aku melihatnya dengan tatapan garang.
“Ini kita berdua lucu banget sih. Udah kayak pasutri yang lagi debatin pembagian tugas rumah aja.”
Juna masih terkekeh. Tetapi aku justru diam saja. Aku mematung, dengan degup jantung yang kian dahsyat bunyinya. Sial. Juna lagi-lagi membuatku kikuk dan salah tingkah.
“Jadi pekerjaan kamu apa, Gal?” tanya Juna lagi saat kita sudah bergeser ke sofa yang ada di apartemennya. Ruangan itu masih tersambung dengan dapur. Karena memang sengaja dibuat tanpa sekat agar membuat ruangannya terlihat lebih lapang.
“Aku pengacara, alias pengangguran banyak acara,” ucapku sambil memastikan mimik wajah Juna setelah mendengar ucapanku barusan.
“Nggak kaget sih aku.”
Meneliti dari mimik wajah Juna sekarang, dia memang tampak biasa saja. Tidak ada perubahan dengan ekspresi wajahnya. Sepertinya berita barusan tidak lantas membuatnya kecewa ataupun tidak percaya.
“Lho, kok gitu?”
“Yah habis kamu setiap kali aku ajak makan atau masak bareng kayak gini pasti nggak pernah nolak dengan dalih lagi sibuk kerja. Selain pengangguran, memang apalagi profesi yang memiliki banyak waktu luang seperti kamu saat ini.”
“Dasar kamu yah. Malah bikin kesal,” sahutku sambil memukulnya dengan bantal sofa.
Lagi-lagi tawa Juna menggelegar mengisi setiap sudut tempat itu. Aku mendadak menjelma menjadi anak ABG yang sedang kasmaran. Dunia terasa menyenangkan. Waktu tampaknya sangat berharga di setiap detiknya. Dan aku, lagi-lagi tidak ingin semua ini cepat berlalu.