Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #15

Lontong Balap

Kelopak mataku terbuka berbarengan dengan pintu kamar yang terdorong. Sudah ada Rana yang berdiri di sana. Berkacak pinggang sambil memegang sebuah cangkir. Dari aromanya yang mengepul di dalam ruangan, dapat kupastikan bahwa cangkir itu berisi kopi panas.

“Pagi,” sapanya ramah. 

“Hm, pagi.”

“Lemas amat, Gal.”

“Iya nih, gara-gara begadang nungguin orang tapi malah nggak datang-datang.”

“Apaan. Orang gue pulang jam setengah sebelas malam, lo udah molor. Bagadang dari mana coba.”

Semalam aku memang ketiduran. Padahal rencananya aku ingin menunggu Rana pulang, agar bisa mendengar ceritanya yang sudah pasti akan panjang. Tapi niat hati hendak bagaimana lagi, kalau rasa kantuk ternyata tidak bisa kutahan.

“Udah, buru bangun gih. Udah gue siapin sarapan tuh di luar. Kita makan sama-sama sebelum gue berangkat kerja,” jelas Rana sebelum akhirnya ia menghilang dari ambang pintu kamar. 

Aku membasuh mata untuk kedua kali. Tanganku berusaha menggapai ponsel yang tersimpan di atas nakas. Baru jam enam pagi ternyata. Tumben-tumbenan Rana bangun cepat dan menyiapkan sarapan pula untuk kita berdua. Biasanya, dia paling senang sarapan di kantor. Biar tidak telat dan kejebak macet di jalan. Apakah lelaki yang ia temui semalam kini berhasil merubah pola hidup Rana sekarang?

Secepat kilat aku bangkit dari tempat tidur. Berlari menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Barulah setelahnya aku menghampiri Rana di meja makan.

Sudah ada beberapa roti lapis gandum yang sudah ia buat. Dengan isian selada, timun, telur dan juga tomat. 

Aku mendekat, menggeser kursi dan ikut serta duduk di sana. Sebelum melahap roti lapis buatan Rana, aku memilih untuk meneguk air putih lebih dulu.

“Gue udah bangun, udah cuci muka, udah minum air juga, jadi sekarang tolong jelasin siapa foto yang lo kirim semalam ke gue,” jelasku to the point kepada Rana.

Namun bukannya bercerita, gadis itu malah mendorong piring yang sudah berisi roti lapis agar lebih dekat lagi dari jangkauanku.

“Sarapan dulu, Gal,” sahutnya. 

Aku melepas napas panjang. “Oke. Gue sarapan dulu kalau gitu.”

Seperti perintahnya, aku meraih roti lapis gandum yang sudah ia buat. Namun belum sampai pada gigitan kedua, Rana malah kembali mengajakku bicara. Dasar perempuan itu, tidak konsisten sekali dengan perkataannya.

“Gue lagi dekat sama cowok. Kayaknya sih bentar lagi bakal jadian,” ucapnya tanpa rasa bersalah karena sudah berhasil membuatku tersedak roti lapis gandum yang sedang aku makan.

Aku terbatuk-batuk beberapa kali. Dan bukannya menyodorkan air minum, Rana malah tertawa seperti orang gila saja. Teman jenis apa yang kejam seperti dia.

“Udah, batuknya?” 

Lihat kan, kelakuannya. Sungguh tidak manusiawi sekali. “Bener-bener ya, lo, Na. Pengen banget bunuh gue atau gimana.”

Namun Rana hanya diam. Tidak lanjut menanggapi lagi ucapanku barusan. Setelah perasaanku sudah jauh lebih mendingan, kembali aku menggigit roti lapis yang masih tersisa. 

“Gal,” panggilnya setelah beberapa saat membiarkanku menikmati makanan. “Lo masih ingat sama Imam, nggak?”

“Imam?” ucapku sambil berusaha mengingat.

“Anak marketing di kantor kita dulu, satu timnya Pak Cahyadi. Itu lho Gal, yang dua tahun lalu dipindah tugaskan di cabang yang ada Palembang.”

“Bentar, bentar.” Aku berusaha mengingat. Memutar kembali memori dua tahun yang lalu. “Imam yang tinggi, putih, sama suka beliin kita cemilan itu ya, Na?”

That's right,” jelas Rana tampak antusias. Ia bahkan menjentikan jari di samping wajah saking semangatnya.

“Kenapa sama Imam yang itu?” Aku menatapnya sinis. “Jangan bilang kalian–”

“Ya gitu deh, Gal,” sahut Rana malah memotong kalimatku. “Tiga hari yang lalu kita nggak sengaja ketemu di minimarket.”

“Oh ya? Terus, terus.”

“Terus waktu itu gue lagi belanja banyak cemilan buat di stok di rumah. Karena gue nggak pegang uang cash, niatnya pengen bayar pake e-wallet aja. Tapi sialnya hari itu jaringan lagi error parah. Terus lo tau nggak cerita selanjutnya kayak gimana?”

Melihat bola mata Rana yang melotot membuatnya ingin sekali mencongkel keduanya bola matanya menggunakan garpu. “Ya, nggak dong, Na. Gimana ceritanya gue bisa tau kelanjutan kisah lo kayak gimana, sementara gue nggak ada di sana. Gue nggak ada di lokasi. Gila aja lo.”

Rana malah terkekeh melihat aku yang kesal padanya. “Jadi tuh, Imam tiba-tiba datang dari arah belakang gue. Terus seperti pahlawan yang sengaja diutus oleh Tuhan ke bumi untuk nolongin si Rana yang lagi kesusahan, dengan gagahnya dia membayar semua barang belanjaan yang gue punya, Gal. Duh, lucu banget deh pokoknya.”

“Kok bisa kalian berdua ketemu? Bukannya dia masih tugas di Palempang ya, Na?”

“Ya bisa dong, Gal. Kalau Tuhan sudah berkehendak, apa sih yang nggak bisa di dunia ini.”

Aku hanya menggaruk tengkuk meski sebenarnya tidak gatal sama sekali. Ingin rasanya aku menggeprek Rana menggunakan ulekan. Bikin gemas sekali tingkahnya hari ini.

Lihat selengkapnya