Dalam mimpiku kali ini, aku melihat Ibu menyibakkan tirai jendela kamar. Geraknya lincah, lalu dengan buru-buru ia berputar menuju lemari pakaian. Tangannya lagi-lagi bergerak dengan cepat. Dengan lihai ia memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Lalu kulihat aku terbangun, memanggilnya sambil mengucek kedua mataku. Ibu menoleh, tersenyum, namun tak kunjung mengajakku bicara. Tangannya masih sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper. Saat kutanya, “Ibu mau ke mana?” ia hanya tersenyum, memamerkan gigi putihnya yang rapi. Kutanya lagi dengan kalimat, “Ibu mau liburan, ya?” Namun masih saja dia hanya menjawab dengan senyuman. Lantas pintu kamar perlahan terbuka. Ada Bapak yang berdiri di sana. Ketika kupanggil, “Bapak,” Dia pun hanya membalasku dengan tersenyum. Lalu kuperhatikan Ibu sudah menutup kopernya. Kini ia bangkit, berjalan menghampiri Bapak yang sepertinya memang sengaja menunggu di depan pintu. Aku lagi-lagi bertanya, “Ibu dan Bapak mau ke mana?” Tetapi masih juga yang mereka berikan hanya senyuman. Bukan sebuah kalimat penjelasan. Karena terlalu kesal, aku lantas bergegas bangun dari tempat tidur. Hendak menghampiri Ibu dan Bapak yang berdiri di depan pintu kamar sambil berpegangan tangan dengan sangat mesra. Namun belum sempat kakiku menapak lantai, Ibu dan Bapak malah melambai. Senyum mereka masih belum pudar. “Ibu dan Bapak mau ke mana? Galuh juga mau ikut,” ucapku dengan suara lantang. Dan lagi-lagi mereka hanya menjawab dengan tersenyum. Aku mulai muak, lelah dipermainkan oleh senyum mereka berdua yang tampak penuh dengan kebohongan. Kakiku berhasil menapak lantai, berjalan dengan langkah jenjang untuk menggapai pintu kamar. Namun setelah tiba di sana, sosok Ibu dan Bapak justru memudar digantikan silau cahaya yang berhasil membuat mataku perih.
Detik berikutnya aku terbangun, di sebuah tempat tidur di mana ada Rana yang masih terlelap pulas di sampingku. Ini bukan kamar tidurku di rumah. Bukan kamar tidur yang kulihat di mimpi itu. Tetapi anehnya mataku masih terasa perih. Lalu dengan buru-buru, aku beralih melirik bantal dan kutemukan basah yang hangat bertengger di sana.
***
Sesuai dengan namanya, yang menjadi poin penting dari sajian ini adalah buah pisang yang dibalut dengan adonan berwarna hijau. Hijau yang melambangkan keanggunan, sopan santun dan bertutur elok. Hijau yang dianggap sakral dan suci oleh masyarakat Makassar. Sebab warna hijau pada balutan es pisang ijo, dapat membawa rasa damai dan sejuk bagi siapapun yang melihatnya.
Tidak. Kali ini aku tidak lagi kesulitan menelan makanan. Melainkan seperti orang kalap yang tidak pernah mendapat asupan selama tiga hari berturut-turut.
Di depanku sudah ada piring yang berisi es pisang ijo. Sudah piring yang ke ketiga. Mungkin karena Jakarta sedang terik hingga membuat tenggorokanku seperti haus akan sesuatu yang segar.
Sebenarnya bukan es pisang ijo yang ingin aku santap hari ini. Melainkan es kacang merah yang ada di dekat toko Radit. Tetapi sesuatu yang buruk baru saja terjadi. Ibu penjual yang memiliki mimpi ingin membahagiakan banyak orang itu, baru saja berpulang ke tempat yang abadi.
Tokonya yang berada di dekat lampu merah resmi tutup. Sedang di antara empat orang anaknya tidak ada satupun yang berani mengambil alih tanggung jawab yang besar itu. Tiga diantaranya sudah berkeluarga dan masing-masing tinggal di luar kota Jakarta. Sementara anak terakhirnya masih terlalu muda. Kalau tidak salah, tahun ini baru mau tamat SMP. Dan menurut anak sulung si penjual es kacang merah itu, ia akan membopong adiknya ke Surabaya setelah lulus sekolah nanti.
Es kacang merah yang enak itu tinggallah sebuah cerita. Kini dia abadi di sebuah tempat yang disebut kenangan. Dan bukankah semua hal di dunia ini memang akan begitu adanya?
Mereka hadir, memberi bahagia yang nyata namun tidak berlangsung lama, lalu diam-diam menyusut dan menghilang pergi digerus oleh waktu yang terus melangkah maju. Semua itu pada akhirnya hanya akan menjadi sebuah kata pernah.
Dulu pernah ada es kacang merah yang enaknya bikin lupa dunia. Dulu pernah ada ibu penjual es kacang merah dengan cita-citanya yang begitu mulia. Dulu pernah ada seorang ibu, yang lewat semangat juangnya, aku akhirnya menemukan kembali mimpiku yang sudah lama dikubur realita.
“Ibu memang sudah lama sakit, sudah dua tahun yang lalu Mbak,” ucap salah seorang perempuan, yang kalau aku tidak salah mengingat, dia adalah anak kedua dari Ibu penjual es kacang merah yang ternyata bernama Lestari.
Ingatanku kembali melayang jauh ke beberapa jam yang lalu. Di sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun memiliki halaman yang lumayan luas. Ada banyak sekali tumbuhan di pekarangan rumah. Selain lihai membuat es kacang merah, Bu Lestari juga cakap dalam hal merawat tanaman.
Ada bunga kamboja yang mekar dengan indah. Perpaduan antara warna putih dan kuning pada bunga itu berhasil menyita perhatianku. Sebuah keindahan yang abadi, persis senyum Ibu Lestari hari itu saat ia bercerita tentang mimpinya yang katanya sederhana saja.
“Ibu tidak ingin menyusahkan orang lain. Apalagi menyusahkan anak-anaknya. Bahkan saat sakit pun dia masih ngotot untuk jualan, padahal saya sama adik-adik yang lain sangat siap bila harus membiayai semua kebutuhan Ibu.”
“Tapi beliau bilang es kacang merah adalah bagian dari hidupnya. Seperti bernapas, makan, mandi, membersihkan rumah, ia adalah satu kesatuan yang mau tidak mau harus dilakukan, sebab ia adalah bagian dari hidup. Berjualan adalah alternatif yang baik, juga sebagai obat untuk penyakitnya yang ganas.”
“Ibu senang sekali melihat orang-orang menyantap dagangannya dengan lahap. Ibu juga suka menyaksikan gelak tawa yang ada di meja pelanggan saat pengunjung berdatangan di tempat jualannya. Ibu selalu menjadi orang yang paling bahagia saat mendengar orang-orang berbicara hingga membuat setiap sudut tempat jualannya menjadi riuh dan meriah. Ibu selalu suka berada diantara semua itu. Ibu senang melihat orang-orang tertawa dan bahagia.”
Aku masih tabah mendengarkan anak Bu Lestari bercerita tentang ibunya. Hingga tiba-tiba suara itu tenggelam, digantikan dengan suara isak yang tampak malu-malu menampakkan diri di permukaan. Perempuan itu menekan dadanya, mencoba meredakan sesak yang mungkin saja sudah terlalu bertumpuk di dalam sana.
Air matanya mengalir deras. Suara isaknya perlahan terdengar. Aku mendekat mengusap-usap punggungnya yang bergetar. Runtuh sudah pertahanan yang sejak tadi ia bangun. Kini ia mengalah pada ego yang memaksanya untuk berpura-pura kuat.
“Saya sudah lama tahu kalau Ibu sedang sakit. Tapi alih-alih berkunjung langsung untuk melihat kondisinya di tempat ini, saya justru memilih jalan pintas dengan cara menanyakan kondisi Ibu hanya lewat panggilan suara pun lewat panggilan video saja. Saya terlalu optimis, berpikir Ibu akan baik-baik saja dan hidup lebih lama. Tetapi Tuhan telah berkehendak lain dan mengambil Ibu secara diam-diam. Saya anak yang buruk. Saya pantas dihukum, saya menelantarkan Ibu.”
“Mbak yang tenang, ya. Yang sabar, yang tabah. Ibu Lestari pasti sudah bahagia di tempat barunya sekarang,” ucapku berusaha menenangkan. Kalimat yang sama, yang seringkali aku dengar dulu saat Ibu baru saja berpulang. Orang menyebutnya mantra, walau aku tahu mantra itu tidak pernah benar-benar mujarab membuat perasaan kita menjadi jauh lebih baik.