Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #17

Lapis Talas

Bila bagi Radit Iron Man adalah pahlawan super yang memiliki fisik tangguh dan kuat layaknya besi, maka bagiku Bapak adalah pahlawan sejati yang bahkan melampaui tangguh dan kuatnya Iron Man. 

Bapak adalah pahlawan yang sebenarnya. Dia lelaki yang selalu bisa diandalkan. Tidak hanya lembut dan penuh kasih sayang, ia bahkan rela berkorban demi menghidupi keluarganya. Tidak peduli lelah, hujan, terik, bahkan badai sekalipun Bapak tetap akan berdiri kokoh demi membuat aku dan Ibu bisa makan, bisa membeli apapun yang kami inginkan, bisa bahagia tanpa batas waktu.

Hingga tiba di satu titik, pahlawan yang selalu kubanggakan itu, akhirnya kehilangan kekuatannya. Hari itu, di antara lautan manusia kulihat Bapak menangis hebat. Di hadapan tubuh Ibu yang dingin, pucat dan juga tak bergerak lagi, air matanya tak berhenti mengalir. Bapak kehilangan mataharinya. Dunianya runtuh hanya dalam sekejap mata. Kata pulang yang hari itu ia pikir akan memberinya sebuah bahagia, ternyata beralih fungsi menjadi sebuah luka mendalam yang sulit ia terima.

Bapak tanpa Ibu adalah neraka. Hidupnya berantakan, makannya tidak teratur, bahkan senyumnya pun perlahan memudar. Rumah mendadak menjadi tempat paling asing yang pernah ada.

Bapak bukan lagi sosok hangat yang selalu membuatku tertawa lewat cerita-ceritanya. Dia menjelma sosok lain yang tidak lagi senang bicara. Hingga di suatu hari, Bapak tiba-tiba datang menghampiriku di kamar. Ia lantas berbicara tanpa sebuah intro.

“Bapak mau menikah lagi,” ucapnya dengan suara yang pelan, nyaris tidak terdengar. 

Aku menatapnya tanpa ada niat untuk menjawab. Wajahnya datar saja tanpa ekspresi. 

“Ya, Bapak akan menikah lagi,” ucapnya lagi, lalu pergi begitu saja.

Malam itu kupikir Bapak hanya bergurau. Bagaimana bisa ia berpaling dari belahan jiwanya yang sudah membersamainya melewati suka maupun duka selama hampir 25 tahun lamanya. Bagaimana bisa ia menghapus jejak Ibu dari memori yang ia punya hanya dalam rentang waktu yang begitu singkat. Aku meyakini cinta Bapak telah habis pada Ibu. 

Tetapi siapa yang benar-benar bisa mengukur kedalaman hati manusia? Siapa yang bisa menakar jumlah kasih sayang seseorang jika cinta sama sekali tidak pernah mengenal angka. 

“Galuh, kenalin ini Ibu Dian. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini bersama kita,” ucap Bapak saat ia pulang ke rumah dan membawa seorang perempuan yang bernama Dian.

Hari itu duniaku kembali runtuh. Bapak mengkhianati Ibu. Dia mengubur belahan jiwanya dengan cara mencari belahan jiwa lain yang masih tersisa di bumi. Aku marah, aku tidak terima keputusannya yang terlalu tidak masuk akal menurutku. Mendadak, aku menjadi benci Bapak.

***

“Gal? Hei,” ucap Radit sambil mengguncang tubuhku.

Aku mengedarkan pandang, melihat ke kiri lewat jendela mobil. Di luar sangat gelap. Sepertinya lampu jalan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

“Kita sudah sampai. Yuk, turun,” ucap Radit sembari melepas sabuk pengaman.

Kembali aku melirik ke luar jendela mobil. Kepalaku menengok ke arah kanan. Lalu menghembuskan napas panjang saat melihat pagar besi berwarna putih yang masih sama persis ketika lima tahun lalu aku meninggalkan rumah itu.

Tidak ada yang berubah. Warnanya masih seperti dulu. Tanaman yang ada di halaman depan rumah pun masih tanaman yang dulunya ditanam oleh Ibu. Tempat itu masih asri, masih mengingatkanku pada memori-memori masa lalu yang penuh dengan tawa bahagia.

Ketika tangan Radit menjangkau pagar yang tampaknya tidak terkunci, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Ada Ibu Dian yang sudah berdiri di sana. Tergopoh-gopoh, ia menghampiri kita dengan wajah yang berbalut senyum yang tulus.

“Nak Galuh, Nak Radit. Mari, silahkan masuk,” ucapnya dengan ramah.

Dia menuntun kita memasuki rumah. Sepanjang berjalan masuk ke tempat itu, kudengar Radit mengobrol dengannya. Aku tidak ikut bergabung, melainkan sibuk memandangi setiap sudut rumah yang baru kulihat lagi sekarang.

Sama seperti di halaman depan yang tidak berubah, di bagian dalam rumah itu pun masih terlihat sama saja. Di ruang tengah, foto-fotoku bersama Ibu dan juga Bapak masih terpajang sebagaimana dulu. Dan sama sekali tidak ada potret Bu Dian di sana. 

“Mbak Galuh.” 

Aku menoleh. Suara nyaring itu berasal dari kamar Bapak. Seorang anak perempuan baru saja keluar dari sana. Rambutnya panjang, mata dan juga bibirnya persis sama dengan mata dan juga bibirku. Anak itu pasti anak Bapak dan juga Bu Dian. Wajahnya hampir sepenuhnya mewarisi wajah Bapak.

“Ternyata lebih cantik dari yang di foto,” ucapnya lagi. Dia sudah berada di sampingku. Tangannya memegang jemariku dengan erat. Lembut, halus dan hangat. 

“Maaf ya, Gaiska memang cerewet,” ucap Bu Dian sambil menarik anak kecil itu agar menjauh dariku.

“Ibu, aku kan belum ngobrol sama Mbak Galuh. Kok ditarik-tarik,” keluhnya sambil memasang wajah masam.

Ada potongan ingatan yang lagi-lagi kembali berputar di dalam kepalaku. Ingatan Galuh kanak, yang tingkahnya sama persis seperti Gaiska. Cerewet, penuh semangat dan mudah merajuk. Mendadak senyumku langsung terbit. 

“Jadi ini yang namanya Gaiska?” ucapku sambil meraih tangannya. Kuperhatikan Bu Dian sempat terkesiap namun dalam waktu yang cepat ia kembali memasang senyum yang ramah. 

“Mbak Galuh, tahu aku?”

“Tau dong.”

“Kok bisa tahu?”

Aku tersenyum lagi. Sekarang aku sudah berjongkok di depannya. Membuat tubuh kita menjadi sejajar. Tanganku mengelus rambut panjangnya yang lembut.

“Kan Bapak suka cerita. Katanya Gaiska cerewet kayak lebah,” ucapku berbohong sambil mencubit pelan pipinya.

Lihat selengkapnya