Dari kejauhan aku melihat pemandangan yang benar-benar baru di rumah ini. Ada Radit dan juga Bapak yang sedang berbagi cerita di ruang tengah. Keduanya tampak akrab, Bapak juga terlihat jauh lebih sehat sekarang.
Aku tersenyum, lalu menutup pintu kamar. Bersamaan dengan itu, tercium aroma bawang goreng yang harum. Berasal dari dapur. Bu Dian pasti sedang memasak di sana. Langkahku pun bergegas ke tempat itu.
“Eh, Galuh. Sudah bangun,” sapa Bu Dian saat aku sudah tiba di dapur. Ia tersenyum. Tangannya baru saja menuang bumbu halus ke dalam wajan yang sudah berisi bawang goreng yang matang.
“Lagi masak apa, Bu?”
Aku mendekat, memandangi tumisan bumbu yang meletup-letup di wajan.
“Ini, lagi masak opor. Bapak kamu pengen makan opor ayam, katanya.” Bu Dian tersenyum lagi setelah menyelesaikan kalimatnya.
Tangannya dengan lincah mengaduk-aduk bumbu yang ditumis di wajan agar tidak hangus. Ada aroma bawang putih, bawang merah serta aroma ketumbar yang kuat. Tumisan bumbu itu berwarna kuning cerah. Pasti berasal dari warna kuning kunyit yang juga diikutsertakan dalam bumbu tumis yang ada di sana.
“Ya ampun, sampai lupa. Ibu ternyata belum sempat geprek serai sama lengkuas,” ucap Bu Dian dengan raut wajah panik.
Buru-buru aku menghentikan langkah Bu Dian yang sudah hendak meninggalkan masakannya. “Biar aku aja, Bu. Serai sama lengkuasnya ada di mana memangnya?”
Bu Dian menoleh, menunjuk meja pantry yang berantakan. “Ada di sana, Gal. Di kantongan hitam itu,” jelasnya dengan tangan yang masih sibuk mengaduk bumbu yang ia tumis.
Aku lantas bergegas. Meraih kantong hitam untuk kemudian mengeluarkan bumbu yang dimaksud oleh Bu Dian. Ada serai, lengkuas, daun salam dan juga daun jeruk di dalam kantongan tersebut.
“Segini cukup, Bu?” ucapku sambil menunjukkan dua batang serai dan juga lengkuas yang mungkin berukuran sekitar tiga cm kepada Bu Dian.
Kulihat Bu Dian mengangguk. “Iya, segitu cukup kok.”
Tergesa, aku dengan cekatan menggeprek serai dan juga lengkuas yang sudah dikeluarkan dari kantong plastik.
“Sekalian daun salam sama daun jeruknya juga, Gal,” ucap Bu Dian lagi saat aku sudah bergegas menghampirinya.
Aku memperhatikan bagaimana Bu Dian sedang sibuk memasak. Serai, lengkuas, daun salam dan juga daun jeruk yang tadi kuberikan padanya kini sudah dicampurkan ke dalam bumbu halus yang tadi ia tumis. Setelahnya, ia memasukkan beberapa potong ayam ke dalam wajan dan juga santan cair. Membuat ayam yang tadinya menyatu dengan bumbu, kini tenggelam diantara cairan putih yang gurih.
Bu Dian mengaduk masakannya. Ia juga menambahkan garam, kaldu ayam bubuk, gula merah dan juga penyedap. Setelah opor ayamnya mendidih, ia mengecilkan kompor lalu kembali mengaduk-aduk masakannya. Ayam dengan kuah santan kental dan juga campuran bumbu-bumbu itu, terlihat menggiurkan untuk disantap bersama ketupat ataupun lontong.
“Mbak Galuh,” teriak Gaiska yang ikut bergabung ke dapur sambil berlari-lari kecil ke arahku. Ada Radit yang ikut serta di belakangnya. “Temenin aku ke minimarket, yuk.”
“Dia pengen jajan katanya,” ucap Radit menambahkan.
Gaiska sudah menggenggam tanganku. Anak kecil itu tampak semangat sekali ingin ke minimarket. “Ayo, buruan Mbak. Sebelum Mas Radit berubah pikiran.”
Bu Dian baru saja mematikan kompornya. Opor ayam yang ia masak tampaknya sudah matang.
“Kamu ini, suka banget ngerepotin orang.” Bu Dian mencubit pipi Gaiska setelah mencuci tangannya di wastafel. Gemas sekali ia melihat tingkah anaknya yang lucu itu.
“Ayo, Mbak,” rengeknya lagi sambil menarik-narik tanganku agar menuruti keinginannya.