Wisata Rasa

Rafasirah
Chapter #19

Donat Coklat

Lewat pukul sembilan malam, Rana baru tiba di kosan. Akhir pekannya tidak lagi diisi dengan menonton maraton drama korea di ruang tengah, melainkan dihabiskan untuk berkencan bersama Imam. Lelaki yang tempo hari ia ceritakan dengan sangat antusias. 

Seiring dengan berjalannya waktu, hubungan keduanya merambah menjadi jauh lebih serius. Mereka resmi jadian, padahal seingatku baru beberapa pekan yang lalu Rana bercerita perihal pertemuannya dengan pria itu. Cinta memang kerap kali menyambut manusia dengan cara yang tidak terduga.

“Liatin aja terus. Dengan begitu lo bakal kenyang,” ucap Rana yang kini sudah berganti baju tidur. Sudah ada dua cangkir teh hangat yang ia letakkan di meja.

Tanpa memedulikan Rana, aku tetap memaku tatap pada deretan donat yang di tata rapi di dalam kotak. 

“Imam beliin lo donat buat dimakan, Gal. Bukannya untuk dipandangi doang sampai donatnya pada salting karena lo liatin terus-terusan,” ketus Rana tampak kesal. 

Dia lantas meraih satu buah donat dengan topping matcha, lalu memasukkannya ke dalam mulut dengan sangat bersemangat. Pipi Rana terlihat mengembang, lengkap dengan gerak mengunyah yang tampak tergesa.

“Iya deh, iya. Nih, gue makan donat pemberian pacar lo yang baik hati itu,” jelasku, lalu meraih satu buah donat topping coklat.

Seutas senyum terbit di wajah Rana. Donat yang tadi ia pegang kini sudah sepenuhnya habis dilahap dan tenggelam ke dalam perut. 

“Lo tahu nggak, Na,” ucapku sambil mengunyah donat dengan gerak lambat. “Kehidupan di dunia itu, seperti halnya donat dengan toping coklat. Terlihat manis, namun ada kalanya saat dimakan justru terasa pahit di lidah. Ya, begitulah hidup. Segalanya dipenuhi dengan berbagai kejutan.”

Hening sejenak. Aku dan Rana sama-sama menatap deretan donat yang ada di dalam kotak. Terlihat menggiurkan, dengan beragam rasa yang tampaknya menarik untuk diselami hingga pada gigitan terakhir.

“Iya. Lo benar, Gal. Hidup memang penuh kejutan,” ucap Rana dengan senyum samar. “Gue aja masih nggak nyangka bakal berakhir dengan Imam.”

Rana meneguk tehnya yang nampaknya sudah dingin. Lalu ia membenturkan punggung ke sandaran sofa. Ada hembus napas panjang yang terdengar dengan jelas setelahnya.

“Walau gue belum tahu juga sih, apakah Imam akan menjadi pemberhentian terakhir ataukah hanya sebatas tempat persinggahan sebelum lanjut ke rute selanjutnya.”

Aku lantas menoleh, menatap Rana dengan lamat. “Maksud lo ngomong gitu?”

“Lho emang iya kan, Gal. Kita nggak pernah bisa tahu hari esok. Mungkin malam ini gue masih bisa dibuat salting dengan kehadiran Imam di hidup gue. Tapi apakah itu bisa menjamin kita akan selamanya bahagia dan tetap bersama kayak sekarang? Ya belum tentu juga.”

Aku tidak berani membantah. Namun Rana pasti dapat melihat ekspresiku yang berubah kaku.

“Tapi terlepas dari apapun yang akan terjadi besok, gue tetap akan bersyukur atas kehadiran Imam di hidup gue sekarang.”

Aku lanjut mengunyah donat coklat yang masih tersisa di tangan. Tiba-tiba saja aku teringat Juna. Lelaki itu, kita bertemu satu pekan yang lalu di sebuah kedai kopi, tidak jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja. 

“Eh iya, Gal. Gimana pertemuan lo dengan Juna tempo hari?”

Ucapan Rana tiba-tiba menghadirkan kembali wajah Juna di benakku. Senyum lelaki itu terlintas bersamaan dengan rasa pahit dari gigitan donat coklat terakhir yang kini perlahan tertelan di tenggorokan. Buru-buru aku meraih teh yang ada di meja. Sembari membiarkan ingatan satu pekan yang lalu mencuat kembali ke permukaan.

“Sejumlah shot espresso yang kuat menyatu dengan susu yang lembut, hingga menciptakan rasa yang kompleks. Membuat caramel macchiato identik dengan komposisinya yang seimbang,” ucap Juna sambil memandangi minuman yang ada di depanku. Segelas iced caramel macchiato.

“Oh, hampir lupa,” lanjutnya lagi, kali ini pandangannya tertumbuk pada wajahku. “Dan juga taburan karamel cair di bagian atasnya, memberikan sentuhan manis yang berhasil memanjakan lidah. Ini bukan hanya soal rasa, Gal. Tapi juga perkara memuaskan mata. Seperti juga senyum kamu.”

Aku hanya menggeleng pelan, sementara jantungku berpacu dengan degup yang kencang. Ini tidak normal. Juna lagi-lagi membuat hatiku tidak karuan. 

“Yang tadi itu pemberitahuan,” ucap Juna disertai senyuman.

Aku mengangguk pelan. Membuat Juna mengalihkan tatap pada cangkir espresso yang sejak tadi belum terjamah sama sekali. Lalu di antara riuh pengunjung kedai kopi yang silih berganti datang dan pergi, lagu dari Kodaline yang berjudul The One perlahan mengalun mengisi setiap sudut ruangan. 

Lihat selengkapnya