Di sana, aku melihat diriku terbaring di sebuah ranjang rumah sakit dengan wajah pucat pasi serta sekujur tubuh yang lemas tidak berdaya. Lalu ada sosok asing yang berdiri di samping tempat tidur. Tubuhnya tinggi, wajahnya ditutupi oleh cahaya yang menyilaukan. Suaranya tegas, seperti polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.
“Benar dengan saudari Ragaluh Aghnia?” ucapnya.
“Ya, benar. Saya Ragaluh Aghnia.”
“Perkenalkan, saya utusan dari Tuhan.”
Aku hanya diam. Apakah ini mimpi? apakah mimpi aneh itu datang lagi? Tetapi kenapa rasanya kali ini begitu nyata.
“Apakah kamu bahagia dengan hidup kamu saat ini?” ucapnya, dengan suara pelan dan lembut. “Apakah kamu senang menjalani hidup sebagai seorang Ragaluh Aghnia?”
Aku masih membisu. Bahagia adalah suatu keadaan dimana pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kepuasan. Bahagia mencakup emosi. Bahagia berarti kemampuan untuk melihat sisi positif dalam setiap situasi, bahkan dalam keadaan yang buruk sekalipun. Bahagia itu riang, gembira dan juga senang. Dan apakah aku sudah bahagia?
“Apakah kamu mendengar pertanyaan saya?”
“Ya, saya mendengarnya.”
“Lalu apakah kamu bahagia? Apakah kamu bersyukur dengan hidup kamu sekarang? Atau masih adakah yang kamu sesalkan dan ingin kamu rubah?”
Tidak, aku masih membisu. Memilih diam saja, tanpa menjawab pertanyaan barusan.
***
Aku mengenali aroma ini. Bau khas yang berasal dari bau karbol. Sejenis desinfektan untuk meminimalisir pertumbuhan kuman di rumah sakit. Tetapi kenapa rasanya mataku begitu sulit untuk dibuka? Kenapa berat sekali padahal hanya sekedar untuk membuka mata. Tubuhku juga terasa kaku, sangat sulit untuk sekedar digerakkan. Apakah aku sedang sakit?
Susah payah aku berusaha untuk menggerakkan jemari tanganku. Sebelum akhirnya ada suara yang begitu familiar terdengar di telinga.
“Galuh,” ucapnya dengan penuh semangat. Aku yakin itu suara Radit.
Mataku pun perlahan membuka. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar yang putih, disusul jendela kaca yang perlahan memantulkan cahaya matahari yang terik, dan terakhir aku mendapati wajah Radit yang terlihat khawatir.
Lelaki itu mengenakan kaos polos berwarna putih dengan celana hitam selutut. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak kusut, matanya juga terlihat bengkak. Apakah ia begadang semalaman? Oh, hari apakah sekarang?
“Hei, aku di sini. Ada yang sakit? Aku panggil dokter dulu ya,” ucapnya dengan suara yang lembut.
Namun bukannya menjawab, aku justru meraih jemari tangannya, menggenggam dengan lemah. Suasana di tempat ini terasa sangat familiar. Oh ya, aku ingat pernah melihatnya beberapa kali di dalam mimpi. Namun kali ini bukan sosok asing yang hadir dan menanyakan berbagai macam pertanyaan aneh. Melainkan ada Radit, Bapak, Bu Dian dan juga Tante Ambar.
“Minum dulu ya,” ucap Radit setelah Tante Ambar menyodorkan minuman kepadanya.
Bapak dan Bu Dian pun sudah ikut mendekat ke tempat tidur. Mereka menatapku dengan wajah khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Kepalaku sakit,” ucapku sambil memegang kepalaku yang sudah dibalut perban. Membuat tangan Radit balas menggenggam tanganku yang masih mengerat pada jemarinya.
“Kepala kamu luka karena terkena hantaman besi. Kamu ingat, kemarin siang kamu kecelakaan di depan ruko yang tengah di bangun?”
Tatapku tak kunjung lepas dari wajah Radit. Lalu aku menoleh pada Bapak, yang juga tidak kalah khawatirnya sebagaimana Radit saat ini. Lalu pelan-pelan ingatan kemarin siang itu berputar memenuhi kepalaku.
“Kamu langsung dilarikan ke rumah sakit sama pekerja yang ada di ruko tersebut. Untungnya luka kamu tidak tergolong parah walau tidak bisa dikatakan ringan juga. Di bagian kepala ada kulit yang robek dan harus dijahit. Juga dibeberapa bagian tubuh kamu,” ucap Radit menjelaskan layaknya seorang dokter. Membuatku ikut-ikutan melirik luka yang ada di sekujur tubuhku. Ada di bagian lengan, kaki dan juga bahu. Pantas saja tubuhku terasa lemas dan kaku.
“Aku panggil dokter ya,” ucap Radit yang sudah hendak melangkah pergi.
Namun dengan cepat aku menghentikan geraknya. “Entar aja. Aku lapar, pengen makan buah. Bisa tolong kamu kupas buah dulu nggak buat aku?”
Bukan hanya Radit yang bergegas, melainkan semua orang yang ada di ruangan itu. Terutama Bu Dian dan Tante Ambar, kedua langsung meraih buah yang memang sudah ada di atas meja. Diraihnya apel, jeruk dan anggur. Mereka lantas menyodorkan buah yang sudah mereka kupas kepada Radit. Sementara Bapak yang sejak tadi hanya menjadi pengamat ruangan, kini tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Mau buah apa dulu?” ucap Radit sambil memandang potongan buah yang ada di piring.
“Apa aja, yang penting bisa dikunyah,” ucapku lemah.
Radit mengangguk, lantas meraih potongan apel dan mengarahkannya ke depan bibirku. Saat potongan buah itu sudah menyatu ke dalam mulut, aku bisa merasakan bagaimana dagingnya yang renyah dan berair. Ada rasa manis dan sedikit asam yang terasa di lidah.
“Enak?” tanya Radit saat suapan buah kembali mengisi mulutku.
Aku mengangguk, berusaha tersenyum agar wajah tegangnya perlahan surut. Tak lama Tante Ambar mendekat, dengan piring berisi buah di tangan kanannya. Piring itu sudah ia letakkan di atas nakas, tepat di samping tempat duduk Radit.
“Radit sampai nggak tidur semalaman lho Gal, gara-gara kalut liat kamu nggak kunjung sadar,” ucap Tante Ambar yang kini berdiri berseberangan dengan Radit.
“Kamu cepat sembuh dong, biar kita nggak khawatir lagi,” lanjutnya.
Aku bisa melihat bagaimana raut wajah Tante Ambar yang memang tampak khawatir. Begitu pula dengan Bapak, yang diam-diam mencuri pandang ke arahku dari jarak yang lumayan jauh dari tempat tidur. Dia sedang duduk di sofa yang berada di dekat jendela. Meski sejak tadi Bapak hanya diam saja, aku tahu bagaimana perasaan hatinya yang sedang dilanda rasa khawatir dan kalut. Dalam diamnya saat ini, Bapak sebenarnya sedang memikirkan banyak hal. Tentu saja tidak lepas dari kondisiku saat ini.
“Iya, Tan– Eh, maksudnya Mama,” ucapku dengan senyum kikuk. Aku sempat melirik Radit dulu sebelum mengalihkan tatap pada Tante Ambar. “Maafin Galuh ya, udah buat kalian semua khawatir.”
Tante Ambar langsung menggeleng. “Kok minta maaf. Wajarlah kita khawatir. Kamu lagi luka-luka gini kok.”
Kali ini Tante Ambar yang menyuapkan potongan jeruk ke dalam mulutku. Buah jeruk yang beradu dengan lidahku kali ini terasa empuk. Dengan kandungan airnya yang berlimpah serta rasa manisnya yang menyegarkan. Mulutku kembali terbuka saat suapan jeruk kedua sudah diberikan lagi oleh Tante Ambar.
“Lagian kok bisa sih kamu kena tumpukan besi bangunan kayak gini?” Dia lantas melirik ke arah anaknya. “Untung saja kamu bisa selamat meski dengan luka-luka seperti ini. Kalau tidak, Mama mungkin nggak bakal maafin Radit karena udah teledor jagain kamu.”
Radit tidak menanggapi, Dia hanya diam saja mendengar mamanya mengoceh tanpa henti. Lucu sekali. Padahal ini bukan salah Radit, tapi malah dia yang kena semprot mamanya tanpa henti.
“Udah Jeng, jangan dimarahin terus. Kasian. Lagian Galuh juga udah sadar. Daripada marah-marah mending kita pesan makan saja. Semalam kamu nggak sempat makan malam kan, gara-gara khawatir nungguin Galuh siuman.”
Aku terkesiap. Apakah orang-orang begitu kalut melihatku terbaring lemah di ranjang rumah sakit? Bahkan orang yang sudah kupatahkan hatinya berkali-kali, masih rela meluangkan waktunya untuk begadang semalaman demi menungguku bangun.
Tante Ambar sudah bergeser ke sofa, kembali bergabung dengan Bapak dan juga Bu Dian. Sementara Radit, baru saja meletakkan piring buah yang sudah kosong ke atas nakas. Kembali ia menyodorkan air minum padaku. Sebelum akhirnya suara dering ponselnya yang ada di dalam saku perlahan terdengar tanpa henti.
“Bentar ya, aku angkat dulu. Telpon dari karyawan di toko, kayaknya ada hal penting yang ingin disampaikan,” jelas Radit, sebelum menjawab teleponnya.