“Cut!!! Kerja bagus!!! Kerja bagus semuanya ....”
Aris Fahriza, sutradara ternama di jagat raya perfilman itu mengakhiri prosesi syuting hari ini. Sudah hampir pukul 22.00, jika bukan karena ada pemain yang terlambat pasti semua kru sudah bisa beristirahat sejak satu jam yang lalu.
“Terimakasih untuk kerja kerasnya hari ini, kalian semua luar biasa.”
“Terimakasih ....”
“Terimakasih ....”
“Terimakasiih ....”
Semuanya saling mengucap terimakasih, baik kru maupun pemain. Begitu juga Lani, penulis dari buku yang diadaptasi menjadi film yang sedang dikerjakan ini. Pak Sutradara -begitu orang-orang memanggilnya, tidak mau Lani melewatkan satu haripun proses syuting.
“Besok syutingnya mulai jam berapa Pak?”
“Karna kita ada scene sunrise jadi pukul 03.00 kita udah harus siap di lokasi.” Lani hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dini hari banget, pikirnya.
“Untuk para pemain boleh langsung kembali ke penginapan dan untuk kru kita beres-beres lokasi dulu.”
“Siaapp Pak Sutradara ....”
“Kamu langsung balik ke penginapan aja ya Lan.” Lani hanya mengangguk tipis sebelum beranjak pergi.
Pukul 01.00, sudah tiga jam berlalu sejak Lani kembali ke penginapan. Dia memang begitu, pertama, tidak mudah tidur di tempat baru dan yang kedua, dini hari adalah jam kerja baginya. Dunia Lani memang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. Yang lain tidur, dia kerja dan saat yang lain kerja, dia tidur.
“Ya kadang masih sedih aja kalo inget kejadian itu.”
“Mau gimana lagi, kesedihan paling dalam itu ditinggal selama-lamanya karna kita nggak bisa lagi liat mereka.” Sayup-sayup terdengar percakapan dari ruang tamu yang kebetulan berada persis di samping kamar Lani. Daripada cuma diem aja, mending gabung sama mereka, katanya dalam hati.
Ceklekkk .... Suara gagang pintu membuat dua orang yang sedang bercakap-cakap menoleh.
“Udah bangun Lan?”
“Nggak bisa tidur Pak.”
“Sini gabung.” Lani mengangguk, dua orang itu ternyata Pak Sutradara dan Faldo, pemeran utama dalam film yang sedang mereka kerjakan.
“Faldo ini Lani, penulis buku yang kita angkat jadi film sekarang. Dan Lani pasti udah taukan ini siapa?”
“Ohh jadi lo penulisnya? Waktu pembacaan naskah lo ada di sanakan?”
“Iya mas.”
“Jangan panggil mas dong, Faldo aja.” Lani hanya mengangguk.
“Lani ini yang minta kamu buat jadi pemeran utama di film ini. Jujur aja sebenernya kita nggak terlalu yakin karna kamu sama sekali belum pernah main film, tapi karna Lani ngotot dan ngajak ribut semua orang ya mau nggak mau kita turutin aja dengan syarat dia harus ikut syuting sampai selesai.”
“Wahh kerenn .... Kenapa lo pilih gue sampe segitunya?”
“Mmm .... Kalo spiderman punya getaran Peter kalo aku punya getaran Lani alias feeling aja.”
“Gilakkk .... Bentar, lo bilang apa tadi? Aku?”
“Iya aku.” Lani bingung dengan pertanyaan Faldo, ada yang salah? Begitu maksud tatapan Lani.
“Dia orang Jogja.”
“Di Jogja nggak ada lo gue, adanya aku kamu.”
“Aku kamu lama-lama jadi kita nggak?”
“Faldo ni pinter gombal ya ternyata ....” Pak Sutradara memuji Faldo, Lani tidak menanggapi.
“Gimana bisa jadi kita nggak?”
“Nggak.”
Tawa Faldo langsung terhenti. Dia tidak tahu jika gadis di depannya akan menjawab selugas itu. Beruntung ada Pak Sutradara yang pandai mencairkan suasana. Percakapan mereka masih berlanjut setengah jam kemudian. Pak Sutradara membangunkan semua kru tepat pukul 02.00 dini hari, saatnya bersiap-siap untuk berangkat ke lokasi syuting.
Jarum jam menunjuk angka 02.50 saat rombongan tiba di lokasi. Tanpa perlu aba-aba dari sutradara, mereka gesit mengatur peralatan sesuai briefing kemarin malam. Lani baru tahu setelah beres-beres lokasi syuting kemarin, mereka langsung mengadakan briefing. Kabar baik, karena syuting dimulai pagi-pagi buta jadi setelah makan siang semua boleh istirahat sebelum kembali ke Jakarta pukul 20.00.
***
“Itu apa?”
“Sketchbook.”
Senja yang indah, Lani sedang duduk di halaman belakang penginapannya melihat matahari yang siap pulang ke peristirahatannya. Masih dua jam lagi sebelum berangkat ke bandara.
“Suka gambar?” Faldo ikut duduk di samping Lani.
Lani menggeleng, “Suka nulis.”
“Iya, aku tau.”